Semoga Komodo Bukan Komoditas Politik

Masih ingat 'gladiator'? Ia merupakan salah satu film favorit saya. Masih terekam dalam benak saya, ucapan Commodus Patricide, tatkala bermaksud mengurangi pengaruh Senat Romawi, dengan pernyataannya, "Berikan pada rakyat apa yang mereka sukai. Maka mereka akan menyerahkan hatinya padamu".

Haji Sandal Jepit

Bingung? Istilah ini mulai populer ketika musim haji tiba. Kalau anda mendengar pemberitaan koran yang ramai-ramai mewartakan adanya jamaah haji yang gagal berangkat melalui biro perjalaan haji, maka mereka yang gagal inilah yang ditempelkan kepada mereka sebutan 'haji sandal jepit'.

Orang Jawa Punah

Tidak sebagaimana suku-suku lainnya yang ketat mengadministrasikan garis keturunan melalui nama keluarga, farm atau marga kayak suku Batak, Minangkabau, Minahasa, Ambon, Timor, Nias, Dayak dan Toraja, jarang keluarga Jawa yang menadministrasikan dengan baik silsilah keturunannya.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Senin, 28 Januari 2013

Trust Me, It's work! Teruslah menulis dan menulis...

"Dulu saya menulis puluhan artikel di blog.  Dan tak satupun yang membacanya.  Setelah berubah menjadi kompasioner, tulisan saya terbaca ratusan kali dalam hitungan jam.  Terima kasih kompasiana..."


Tulislah selagi hangat di kepala.  Karena ketikan keyboardmu akan mengalirkan jiwa dan menghadirkan hati bagi segenap pembacamu.  Meskipun tidak sama persis, kalimat inspiratif ini beruntung aku temui di kolom Ellen Maringka, kompasioner yang ibu rumah tangga.

Kompasioner, begitu kompasiana menyebutnya untuk orang-orang yang rela membagi waktunya untuk menulis di blog kompasiana adalah ajang bagi penulis pemula atau sebut saja amatirlah untuk menulis apa saja.  Tak perlu malu, tak usahh ragu.  Tulislah tanpa perlu takut menabrak rambu-rambu kaidah penulisan, yang kadang bila kita ikuti justru membuat pembaca bosan.

Dan resep itu ternyata manjur bagi amatiran kayak saya.  Masih belasan memang artikel yang kubuat.  Setiap kali selesai mengklik 'publish' maka saat itulah dimulai penantian panjang untuk sekedar menantikan seseorang yang kesasar dan mau berkomentar.  Besarnya varian antara harapan dikomentari dan kenyataan tak ada yang mampir, kadang melemahkan semangat pembelajaran untuk menulis.  Bayangkan untuk satu artikel, sampai berminggu bahkan berbulan tak ada koment yang berjatuhan.  Sisi baiknya tentu saya akan terpacu lebih baik lagi untuk menyajikan tulisan dari sudut pandang yang unik.  Yang bahkan sekaliber Dahlan Iskan saja tak pernah mengabadikannya.  Namun apa iya sudut pandang yang saya bidik tak memiliki kekhasan sendiri?

Iseng menelusuri belantara maya, akhirnya berlabuh juga di Kompasiana.  Sebagai test case, saya pindahkan artikel yang berhari-hari tak jua divisitori.  Ajaib, ramuan Houdini bekerja!  Dalam tempo 10 jam , artikel yang selama ini dianggurkan, ternyata telah dibaca oleh 177 orang dengan meninggalkan 2 komentar.  Tidak termasuk komentar pribadi.

Maka nafsu menulis saya pun kembali bergairah.  Kompasiana benar-benar bekerja.

Trust Me!

It's work!

Sabtu, 26 Januari 2013

Hamba Alloh Haram Nyumbang Partai

Menyongsong helatan akbar Pemilu 2014, KPU mulai unjuk gigi.  Draf Peraturan KPU tentang pengaturan dana kampanye partai politik sudah diselesaikan.  Nama penyumbang parpol harus jelas, tak pakai anonim.  Seperti yang sudah-sudah, banyak parpol mensiasati donatur gedhe dengan memecahnya menjadi ratusan hamba Alloh dengan donasi kecil. 

Maka persaingan pun tak fair.  Parpol besar dengan mudahnya menggelontorkan milyaran rupiah untuk menggerakkan mesin pendulang suara.  Parpol kecil hanya bisa gigit jari.

Tidak cukup sekedar melarang, KPU bahkan mewajibkan penyumbang di atas Rp. 30 juta untuk mencantumkan NPWP nya.  Agak berlebihan memang KPU kali ini.  Tapi harus diakui, inilah jalan terbaik untuk democracy fair play sekaligus memastikan bahwa dana parpol berasal dari sumber yang halal.  Bukan komisi macam Hambalang dan Wisma atlet.

Tapi kenapa hanya untuk yang Rp.30 juta ke atas saja yang diwajibkan melampirkan NPWP?  Kenapa tidak dibikin lebih luas lagi, misalnya Rp.1 juta ke atas?  Klausul Rp. 30 jt pakai NPWP pada akhirnya akan menjadi pintu masuk untuk akal-akalan parpol.  Sangat mudah bagi parpol untuk mencari orang yang bersedia dicatut namanya sebagai penyumbang.  Resmi atau pun tak resmi.  Setahu orangnya atau diluar sepengetahuannya.  Lha wong saat verifikasi dulu, betapa banyak orang yang tak tahu menahu kalau KTP nya dipinjam sebagai bukti dukungan ?

Maka parpol pun akan berhitung.  Setiap orang dianggap menyumbang Rp. 29 juta.  Cukup cari KTP saja.  Tak perlu NPWP.  Untuk merasionalisasi dana Rp. 10 M saja, cukup dengan 400 KTP!  Sangat mudah dan gampang bagi parpol.

Itu untuk dana yang diniatkan tercatat dalam pembukuan resmi Parpol.  Bagaimana dengan pengeluaran yang tidak melalui parpol?  Sudah jamak bagi calon legislatif untuk membiayai dirinya sendiri.  Mensosialisasikan dirinya dan bersaing dengan caleg lainnya dalam parpol yang sama.  Mempopulerkan dirinya sendiri secara otomatis juga mempopulerkan parpol yang bersangkutan.  Karena pemilu kita bukan memilih parpol, tapi mencoblos orang.  Maka akan sulit memisahkan mana dana parpol dan mana dana caleg.  Maka akan lebih mudah bagi parpol untuk mengeluarkan uang melalui individu si Caleg.  Toh yang akan diaudit nantinya adalah dana parpol, bukan dana Caleg.

Maka meski KPU sudah beritikad baik dengan menerbitkan draft tentang pengaturan dana kampanye partai politik, namun kenyataan di lapangan tidak akan jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya.  Partai besar dengan mudahnya mengambil ruang publik untuk mengenalkan visi dan janji-janjinya.  Partai kecil sebagaimana lazimnya hanya gigit kaki.

Bagaimanapun sekedar niat baik saja tak cukup untuk membenahi ketimpangan demokrasi negeri ini.  Perlu komitmen pimpinan semua parpol untuk mentaati aturan main.  Sehingga kemenangan yang nantinya diraih adalah kemenangan yang bersih tanpa ada upaya untuk memanipulasi data dan dana.

Mungkinkah?

Mimpi kali ya...

Sabtu, 19 Januari 2013

Executive Lounge Embarkasi Surabaya (Serpihan haji 2012 Eps 4)



Seumur-umur baru kali ini perjalanan diiringi sirine pengawalan polisi.  Bayangan jalan macet pupus sudah.  Dua voreinder didepan kami bagaikan kapal pemecah es, yang menyibakkan jalan bagi kapal utama.  Mudah-mudahan saja pengendara jalan yang terganggu dengan rombongan kami tidak mencak-mencak dan mengirim doa umpatan buat kami para jamaah haji, yang memang tidak minta diperlakukan secara khusus bak pejabat negeri ini kala berkunjung ke suatu daerah.
Perjalanan kami sibukkan dengan barter cerita.  Banyak sekali pengalaman hidup yang kuperoleh dari teman sebelah.  Namanya Mangesti Waluyo Sejati.  Beliau adalah pimpinan KBIH tempat saya bergabung, dan pada musim haji 2012 ini berkenan mendampingi kami langsung.  KBIH yang beliau dirikan bukanlah tempat sandaran hidupnya.  Secara materi sudah dicukupkan dari perusahaan pengolahan hasil laut yang berorientasi ekspor, yang menggelinding dengan sendirinya tanpa ada lagi campur tangannya.  Semua sudah dipercayakan kepada manajer yang profesional.  Fokusnya cuma satu.  Melayani jamaah dan mengantarnya menjadi Haji yang mabrur (Insya Alloh).
Perbincangan yang menarik ini akhirnya harus terhenti.  Bis melambatkan lajunya dan mulai berhenti.  Kulihat bis yang lainnya takjauh beda.  Kanan kiri kami lahan bekas sawah yang mengering.  Ada beberapa kotak warna-warna di kanan jalan.  Seukuran pos jaga tentara yang berisi satu prajurit saja besarnya.  Tak ada pemberitahuan dari petugas haji: Kita sudah berada di mana, mau apa, dan berapa lama.  Semua dibiarkan saja.  Semua sudah paham.  Jamaah pun kembali ikhlas.
Karena sudah masuk waktu dzuhur beberapa jamaah berinisiatif keluar dan menuju pos jaga warna-warni.  Oh rupanya kamar kecil berbahan fiberglass yang disediakan khusus bagi tamu Alloh ini.  Disebelah luarnya nya ada satu kran untuk setiap kotak WC itu.
Oh rupanya buat ambil air wudhu!  Lalu masjidnya mannnnaa...?  Oh luar biasa.  Inilah masjid yang sebenarnya.  Beratapkan langit biru, beralaskan rumput kering dan bermandikan sinar cahaya mentari.  Menyengat memang.  Ya itung-itung sekalian latihan.  Kan cuaca di tanah suci lebih panas.  Kami pun mencoba belajar ikhlas lebih khusuk lagi.
Prosedur yang kami tempuh untuk sholat memakan waktu lama.  Kami tak pernah menduga akan sholat di rerumputan kayak gini.  Petugas di asrama pun tak pernah sekalipun ngasih tahu.  Satu kotak WC untuk satu bus.  Setiap jamaah cenderung berasyik masyuk di WC sebelum keluar untuk mengambil air wudhu disebelahnya.  Tak ada tempat wudhu khusus untuk perempuan.
Maka proses antre pun di mulai.  Di siang bolong, ditengah terik bakaran matahari.
Meski warna-warna di luar, kami tetap harus berhati-hati kala menapakkan kaki di dalam WC.  Kekhawatiran tersentuh najis orang yang sebelum kami membuat kami ekstra waspada.  Jamaah wanita yang tak telaten berwudhu di dalam kotak ajaib itu banyak yang berwudhu di luar.  Disaksikan puluhan mata lelaki yang bukan muhrimnya.  Darurat katanya.
Tak adanya kejelasan berapa lama kami harus terlantar dan dengan pertimbangan sholat di pesawat tak senyaman bila sholat di tanah lapang, akhirnya turun juga saya ikut mengantre.  Syukurlah masih kebagian sholat berjamaah.
Namun masalah tak berhenti dengan diucapkannya salam ke kanan dan ke kiri.  Istriku masih terkatung-katung di bis.  Ia bersikeras untuk tak mau meniru, berwudhu di tempat terbuka kayak gitu.  Alhasil dengan rayuan kutawarkan ia untuk berwudhu di kotak pandora warna-warni yang paling jauh.  Jadilah ia berwudhu di dalam WC yang terbuka dan saya berdiri mematung mengawasi seolah satpam.  Bila ada lelaki lain yang mencoba untuk ngantre di WC istriku, kupersilakan ia untuk pergi ke WC yang lain sembari kukatakan terus terang, istriku lagi berwudhu dan saya selaku suaminya tak terima orang lain melihat auratnya.  Syukurlah Alloh ngasih saya perawakan yang tinggi besar dan menakutkan, hingga dengan sekali penjelasan orang pun segan dan dengan sukarela pindah ke WC lain.
Syukurlah prosesi sholat selesai bersamaan dengan bergulirnya roda-roda bis pengangkut jamaah.  Bis yang kami tumpangi tak mau menunggu. Ya Alloh kami ditinggal!
Syukurlah masih ada bis paling belakang yang bersedia mengangkut kami.  Kami jadi selebriti dadakan.  Semua mata menatap.  Seolah semua kesalahan ada pada kami.
Sabar pak bu, kami hanya mencoba menjalankan kewajiban kami tanpa perlu mengorbankan kewajiban kami yang lain.  Kami hanya menunaikan sholat tanpa perlu mempertontonkan aurat istri-istri kami.
Bis pun berhenti kembali.  Kali ini antri menurunkan penumpang.  Kesempatan ini kugunakan untuk berlari-lari kecil bergabung kembali dengan rombongan.
Alhamdulillah akhirnya pantat ini menemukan tempat duduknya yang nyaman di barisan tengah pesawat super besar Saudi Air lines.  Syukur sekaligus kesadaran telah melalui satu episode dalam perjalanan haji kami.
Episode menunggu di Executive Lounge Embarkasi Surabaya.

Pelajaran yang dapat diambil adalah:  Gunakan kesempatan meski sekecil mungkin untuk menunaikan kewajiban kita, dan jangan pernah merasa bersalah atas nama kebersamaan ketika kebersamaan itu sendiri takpernah mendefinikan kesepakatan-kesepakatan untuk dipatuhi.  Bingung kan?
Maksudnya selama gak ada peraturan bersama yang kita langgar, ibadah jalan terus bro and sis!. 

Asrama Haji Embakarsi Surabaya (Serpihan Haji 2012 Eps 3)

Kurang lebih pukul 16.00 WIB di 2 Oktober 2012, bis yang kami tumpangi meluncur sudah.  Asrama Haji Surabaya yang menjadi tujuan kami.  Waktu tempuh normal dari Pendopo Sidoarjo biasanya tak kurang dari 1,5 hingga 2 jam.  Namun karena status Tamu Alloh yang kami sandang berikut pengawalan polisi, tak sampai 45 menit kami sudah memasuki aula .  Panitia sudah rapi berderet menyambut kami.  Acara inti saat itu adalah pembagian obat-obatan, kamar dan kartu tanda menginap.  Harus antri memang.  Tapi tak terlalu lama kok.  Yang lama (seperti biasa di Indonesia) adalah sambutan-sambutan.
Kami tergabung dalam kelompok terbang SBY 42.  Merupakan kelompok terbang gabungan kabupaten Sidoarjo, Surabaya, Madura serta Magetan.  Kloter kami termasuk kloter-kloter akhir gelombang 1 yang terbang dari embakarsi Surabaya.  Gelombang pertama sendiri seluruhnya berjumlah 47 kloter pada musim haji 2012 ini.
Usai mendapat kejelasan kamar, kami pun berhamburan.  Bukan apa-apa, hanya sekedar untuk membaringkan badan.  Persiapan berangkat sejak dini hari memaksa kami tersadar akan kebutuhan untuk istirahat.  Menghemat tenaga, mengingat ibadah inti yang harus kami jalani masih terbentang dalam hitungan hari.
Namun niat baik itu tak sepenuhnya terlaksana.  Kami masih homesick.  Agenda berikutnya sudah pasti.  Kami coba hubungi kembali anak-anak untuk mengikis perasaan khawatir dan bersalah meninggalkan mereka .  Syukurlah Alloh telah menenteramkan mereka.  Hanun, bungsuku 3 tahun telah tertidur lelap.
Selepas isya panitia masih memberikan pembekalan pada kami.  Trik melilitkan kain ihrom agar burung kami tidak terbang menjadi topik hangat diantara jamaah.
Mencoba memejamkan mata adalah pekerjaan paling sulit ketika tetangga sebelah dipan masih mengajak bicara.  Kamar yang berisi 4 dipan susun ini, kami tempati berenam.  Tentu saja laki semua.  Jangan tanya disain interiornya.  Kayaknya manajemen asrama haji Surabaya menganut paham minimalis.  Lha wong cuma untuk tidur semalam saja kok minta fasilitas hotel bintang lima.  Kami pun tak mempermasalahkan.  Belajar ikhlas.  Dan itulah keuntungan menjadi panitia haji.  Bila ada kekurangan maka jamaah pun diwanti-wanti untuk sabar dan ikhlas.  Sebagaimana ikhlas dan sabarnya Hajar ditinggal suaminya Ibrahim.
Maka kami pun ikhlas tentang kamar mandi yang jarang bersua soklin.  Tentang kamar yang tidak berkunci dan berslot.  Tentang karpet yang berdebu.  Dan tentang AC yang airnya membanjiri tempat jemuran kami.
Maka akhir dari keikhlasan adalah kegembiraan.
Selepas menerima paspor dan Riyal Living cost, kami berbaris antri menuju bis setelah sebelumnya harus lolos uji scanner tas jinjing.  Ancaman petugas yang akan membongkar koper bawaan kami bila didapati ada air minum sempat membuat keder kami.  Banyak terhampar botol minuman di depan kami hasil razia.
Bismillah.  Meski sudah melafazkan nama Alloh, aku sempat ketar-ketir juga.  Tiga botol pulpy orange belum sempat kuhabiskan, sebagaimana dilakukan orang-orang.  Lagian aku tak berniat untuk menjadi penyelundup.  Perjalanan ke bandara selama 2 jam passtinya akan mendehidrasi tubuhku.  Dan sedia payung sebelum hujan tentu adalah pilihan yang bijak.
Syukurlah petugas tak menangkap tanda-tanda seorang penyelundup dari wajahku.  Tas ku pun aman menggelinding hingga pintu detector.  Dan tenyata tuit..tuiit...tuiit.  Detector pun berteriak.  Setengah heran dalam hati, masak iya sih ada detector cairan, yang mempu mendeteksi air minum?
Lambaian tangan petugas agar aku mendekat semakin membuatku pasrah.  Namanya juga usaha.  Apa yang aku pikirkan ternyata tidak beralasan.  Belum ada detektor canggih yang mampu mendeteksi air jeruk.  Yang ada adalah tanpa sengaja istriku memasukkan gunting yang sedianya untuk tahalul ke dalam tas jinjing.  Bukan ke koper besar.  Dan episode ini berakhir dengan dibongkarnya tas jinjingku hanya untuk mengeluarkan sebilah gunting cukur.
Pelajaran berharga episode ini adalah: Jangan percaya ada detektor yang bisa mengendus cairan.  Hanya petugas haji Indonesia yang melakukannya.  Bila anda merasa membutuhkan air minum selama perjalanan dari asrama haji ke bandara maka membawa air minum adalah keharusan.  Terlebih jamaah Haji embakarsi Surabaya disediakan  ruang tunggu yang super VIP di tengah sawah.  Tanpa air minum!

Rabu, 16 Januari 2013

Peci Yang Tinggal Mimpi (Serpihan Haji 2012 Eps 2)

Perpisahan adalah satu kata yang pasti terjadi namun jarang bagi setiap insan untuk mempersiapkan diri menghadapinya.  Detik-detik itu sungguh sangat berharga.  Ia menjungkirbalikkan semua fakta yang telah membangun dirinya menjadi sebuah kebiasaan, sebuah tradisi dan sebuah budaya.  Kedahsyatannya menjadi nyata dalam hitungan detik saja.  Bagaimana mungkin ia mampu mengubah pribadi yang keras, pribadi yang tak mempan mengucurkan air mata bahkan oleh hajaran sekeras batu pualam sekalipun menjadi pribadi yang lembut, lunak dan penuh perasaan.  Dan itulah yang kami alami, pagi dinihari sesudah subuh yang luar biasa.  Subuh pada hari di mana siangnya, kami, aku dan istri harus berpisah dengan keempat buah hati kami, Ammar, Fatah, Syifa dan Hanun. Berpisah memenuhi takdir Ilahi yang telah 4 tahun sebelumnya kami nanti.  Menunaikan rukun keislaman kami.
Hujan air mata mengakhiri Ma'tsurat kami pagi itu.  Kami pun berpamitan.  Bermaafan.  Kusebut satu persatu kewajiban yang mungkin belum kutunaikan dengan sempurna.  Memohon keikhlasan mereka berempat-anak-anakku- untuk bisa menerimanya dengan lapang.  Tak sampai hati sebetulnya melihat mereka berlinang, seolah hari itu adalah perpisahan yang sesungguhnya.  Tak kutampik memang kalau momen itu kugunakan untuk berpamitan layaknya serdadu yang hendak berperang.  Yang berpesan pada sanak kerabatnya untuk tidak mengharapkan dirinya kembali.  Terlalu berlebihan mungkin.  Namun harus kuutarakan semua kemungkinan kehidupan yang boleh jadi menimpa kedua orangtuanya.  Karena perjalanan 10 jam dengan Burung Besi selalu menyimpan sejuta kemungkinan.  Termasuk tak kembalinya kami untuk pelukan hangat yang selalu mereka rindukan.  (Pelukan yang kami tumpahkan dengan air mata kesyukuran kelak saat Alloh mentakdirkan kami kembali bertemu dengan mereka sepulangnya Haji).
Sejumput pesan kutitipkan pada Ammar, sulungku yang telah 16 tahun bersama untuk sabar menjaga adik-adiknya.  Mengantar Hanun sekolah, bungsuku yang 3 tahun berusia.  Memandikannya tiap hari, menyuapinya bila lapar, menyebokinya bila BAB dan merelakan waktu bermainnya menjadi partner bermain yang menyenangkan.  Tak banyak tugas kuberikan pada Fatah, yang memang sedang mondok di pesantren.  Hanya amanah untuk selalu menjaga diri di pesantren dan tak lupa doa untuk kami.  Syifa, perempuan kami yang ketiga, tak ketinggalan menerima amanah jua.  Di tangannyalah kami titipkan sejumlah uang untuk digunakan selama kami pergi.  Dialah yang mengatur semua pengeluaran belanja prajurit-prajurit kami.  Maka semua pertanyaan-pertanyaan tetangga dan teman yang menyangsikan kepergian kami dengan meninggalkan 4 anak yang belum mandiri tuntas sudah.  Tak ada kekhawatiran kami meninggalkan mereka tanpa ada orang dewasa yang menemani mereka.  Sebagaimana tak ada kekhawatiran Ibrahim meninggalkan istrinya sendirian di lembah tandus. 
Plong sudah.  Dan kami pun telah siap menyambut panggilan Illahi.
Tahapan pertama yang mesti kami lalui adalah perpisahan dengan Bupati Sidoarjo, Syaiful Ilah.  Meski sama-sama berlabel perpisahan, namun tak ada keharuan di sana.  Tak ada emosi.  Datar dan biasa.  Dan sebagaimana acara seremonial lainnya, acara ini juga tak luput dari penyakit molor.  Direncanakan jam 14.00 WIB, namun baru dimulai jam 15.00 WIB, tepat adzan ashar berkumandang.  Patut disayangkan pembawa acara yang menghimbau agar jamaah tidak sholat ashar dulu, menunggu acara selesai.  Sebuah seruan yang berlawanan dengan semangat Haji yang menghendaki jamaah untuk melakukan ketaatan total padaNya.
Syukurlah jamaah tidak terpengaruh meskipun hanya beberapa saja.  Seandainya jamaah taat pada protokoler, maka habis sudah bangunan keikhlasan yang hendak mulai bertumbuhan.  Dan Bupati sak antek-anteknya menanggung dosa jamaah keseluruhan.  Rasakno dulur...!  Matek Kon!
Ada baiknya panitia memperhatikan jam protokoler perpisahan ini agar tidak mencederai semangat haji yang menekankan ketaatan total pada Nya.
Maka puncak acara basa-basi itu adalah penyematan jaket batik nasional, yang diklaim sebagai bantuan dan hadiah Pemkab Sidoarjo pada jamaah.  Kami pun berterima kasih.  Tak cukup cuma jaket, Bupati pun menambahkan hadiahnya berupa peci khas penanda jamaah Sidoarjo.  Katanya.  Karena sampai  kembalinya ke depan pintu rumah, kami tak pernah menerima peci yang dijanjikan.  Dan sebagaimana biasanya, kami pun mengikhlaskannya.  Tak menuntut dan mengajukannya ke pengadilan.  Bagaimanapun juga semua seremonial itu menunjukkan betapa mereka mencintai kami.  Betapa mereka menghormati tamu-tamu Alloh ini.  Dan pastinya mereka berharap, doa-doa kami selama di tanah suci mengalir untuk kesejahteraan dan kemakmuran Sidoarjo.
Terima kasih Pak Bupati!

Senin, 07 Januari 2013

Manasikku Manna ? (Serpihan Haji 2012 Episode 1)

Sebetulnya sudah masuk kategori daluwarsa bila perjalanan haji kemarin baru sekarang diprasastikan.  Ada sih niat saat itu untuk mengupdate perjalanan ritual minute to minute nya.  Namun karena ketaktersediaan laptop dan jaringan internet yang memadai, komplit sudah alasanku untuk tak menuliskannya. Meski alasan yang sebenarnya tepat adalah kemalasan yang dibungkus dengan kesibukan beribadah di sana. Taile...., ibadah rek...!
Yuup, semangat untuk merekam semua kejadian demi kejadian terpaksa diakomodir berbarengan dengan ramenya pemberitaan di koran tentang tudingan adanya aroma korupsi dalam penyelenggaraan haji tahun ini (2012) di Kemenag.  Saya sih tidak berkepentingan dengan semua tudingan itu.  Gak ngaruh.  Silakan ambil kesimpulan sendiri.  Tugas ku yang mulia nan terpuji cuma satu (kalo bukan diriku yang memuji diri sendiri siapa lagi?), agar kalian para calon jemaah bisa bersiap dan menyambut panggilan Alloh ini dengan lebih efektif dan efisien sehingga tidak berdampak sistemik pada keutuhan negara dan bangsa Indonesia.  Merdeka!!!  Dan episode pertama ini pun bergulir...

Manasikku mana?
Manasik begitu jamaah bilang, adalah pengetahuan tentang tata cara peribadatan haji dan umroh.  Substansinya cuma satu menurutku, agar kita melaksanakan semua rukun dan wajib haji yang memang benar-benar Rasulullah Muhammad saw contohkan buat kita.  Kalo anda sepakat mengenai hal ini, maka semua ritual ibadah haji adalah enteng lagi ringan, nikmat lagi menggairahkan, enak lagi menggemaskan, dan bukannya berat lagi abot, bosan dan membosankan.
Masalahnya adalah begitu banyak ragam manasik.  Masing2 KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) mengajarkan cara manasik yang berbeda2, dan semuanya mengklaim mencontoh Rasululloh.  Nah Lho..!
Sebagai orang awam, mana yang kita pilih?
Gampang kok kalo mau ikuti triks Hukum Untung Pertama.
"Bila ada pertentangan pendapat dan keduanya mengaku didasarkan pada hadist yang sahih, tanyakanlah pada kitab hadist apa, hadist yang dijadikan sandaran hukum itu berada".
Biasanya sih (tapi tidak selalu lho) mereka yang asal-asalan, tidak mampu untuk menyebut sumber hadistnya dari mana.  Tapi kalo cara ini tidak berhasil, lanjutkan dengan Hukum Untung Kedua.
"Bandingkan dengan sebanyak mungkin membaca literature tentang hal yang dipermasalahkan, karena masing-masing pembahas akan menonjolkan pendapatnya dan berdoalah agar mereka mencantumkan sumber hukumnya".
Ntar kalo cara ini juga tidak mempan, ikuti langkah berikutnya dengan Hukum Untung Ketiga.  Tapi itu nanti, kalo gak berhasil hubungi saya langsung tanpa perantara.  Ingat ! tanpa perantara !

Dengan mengantongi segepok informasi dan dari hasil penelusuran investigatif serta serangkaian fit and proper test, akhirnya kami (saya dan istri) menetapkan pilihan pada satu KBIH.   Baitul Izzah namanya.  Ini bukan promosi, cuma iklan, semacam pemberitahuan saja bahwa layanan mereka memang sepenuh hati buat jamaahnya.  Ntar akan kami tuliskan tentang kiat praktis memilih KBIH yang kompeten dan terpercaya asal anda juga sepakat untuk mengingatkan saya.
Nah kembali ke topik manasik.
Sebenarnya semua KBIH juga menyelenggarakan manasik.  Frekuensinya ngalah-ngalahin kemenag.  Dan dilakukan rutin jauh hari sebelum mendekati hari H.  Bila semua calon jamaah haji tergabung dalam KBIH, tentu manasik yang diselenggarakan Kemenag seolah tidak berarti.  Karena calhaj sudah kenyang dengan menu manasik KBIH.  Oleh karena ada sebagian calhaj yang mandiri, tidak tergabung dengan KBIH, maka manasik Kemenag tetap diperlukan.
Pertanyaannya cuma satu.  Apakah frekuensi dan durasi waktunya cukup memadai memberikan bekal pengetahuan tata cara perhajian?  Saya pernah ikut sekali, pembekalan manasik terakhir dari kemenag kabupaten.  Kebanyakan calhaj tidak tahu berapa kali seharusnya manasik kemenag diselenggarakan.  Yang jelas untuk sekali kehadiran, saya diminta tanda tangan sebanyak empat rangkap, begitu pun tamu undangan lainnya.  Hadirin tidak mempermasalahkan, mungkin karena mereka beranggapan bekal  manasik dari KBIH sudah lebih dari cukup.  Maka manasik yang lebih banyak didominasi pengalaman teknis (bukan hal terkait syari'ah pelaksanaan haji) dianggap sebagai seremonial belaka.
Seandainya saja saya adalah bagian dari Haji mandiri, maka saya akan berteriak: Manasikku Mannnaaa..?

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More