Semoga Komodo Bukan Komoditas Politik

Masih ingat 'gladiator'? Ia merupakan salah satu film favorit saya. Masih terekam dalam benak saya, ucapan Commodus Patricide, tatkala bermaksud mengurangi pengaruh Senat Romawi, dengan pernyataannya, "Berikan pada rakyat apa yang mereka sukai. Maka mereka akan menyerahkan hatinya padamu".

Haji Sandal Jepit

Bingung? Istilah ini mulai populer ketika musim haji tiba. Kalau anda mendengar pemberitaan koran yang ramai-ramai mewartakan adanya jamaah haji yang gagal berangkat melalui biro perjalaan haji, maka mereka yang gagal inilah yang ditempelkan kepada mereka sebutan 'haji sandal jepit'.

Orang Jawa Punah

Tidak sebagaimana suku-suku lainnya yang ketat mengadministrasikan garis keturunan melalui nama keluarga, farm atau marga kayak suku Batak, Minangkabau, Minahasa, Ambon, Timor, Nias, Dayak dan Toraja, jarang keluarga Jawa yang menadministrasikan dengan baik silsilah keturunannya.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Sabtu, 16 Februari 2013

Rampal, Pusat Kebugaran Rakyat

Lapangan Parade Rampal Tepat jam Enam pagi
Siapa yang tak kenal Rampal?  Kalau pertanyaan ini ditujukan pada saya satu tahun yang lalu, maka telunjuk ini tak kan malu-malu mengacungkan dirinya.  Bagi orang di luar Malang, Rampal adalah nama yang asing.  Tapi tidak bagi aremania.  Orang sering menyingkatnya lapangan Rampal.  Meski sebenarnya tidak sesingkat itu.  Nama panjangnya adalah Lapangan Raaaaaaaaammmmmmmppaaaaaaaaaal.  Tergantung anda mau sepanjang apa dia.  Hi..3x weleh-weleh.
Nama resminya sesuai KTP adalah Lapangan Parade Brawijaya Rampal Malang.  Tercatat sebagai aset Kodam V Brawijaya.  Dikelola oleh Kodim 0833 Kota Malang.  Dan terakhir, ini bagian yang paling menarik, ia adalah jujugan utama saya saat berkunjung ke Malang.
Hampir tiap pagi saya selalu mengelilinginya.  Bukan untuk membuktikan kebenaran luasnya yang ngaudubillahi sampai 1,5 km2 namun sebagaimana banyak dilansir media internasional, hanya untuk menurunkan berat badan pada kondisi ideal sesuai tuntutan peran yang akan saya mainkan bareng Penelope Cruz.
13610113401127466699
Jalan utama gerbang timur selatan
Melangkahkan kaki pagi hari di sini sangat eksotik.  Oksigen murni bebas kita hirup.  Sejauh mata memandang hanya warna hijau yang tampak.  Bener-bener hijau.  Mungkin ini yang menginspirasi, hingga muncul sebutan Apel Malang untuk mengidentikannya dengan rupiah.
Setiap jam enam pagi , setiap saya melangkah memasuki pintu gerbang, setiap kali itu pula saya selalu melihat petugas kebersihan merampungkan rutinitasnya.  Taruhan, anda tak akan menemukan sampah berceceran di sini.  Hatta daun sekalipun.  Untuk menampung aspirasi sampah pengunjung, petugas telah menyediakan 15 buah tong sampah beton berdiameter 50 cm.  Semuanya seragam.  Warna kuning.  Entah siapa sponsornya.  Mengelilingi jalan protokol beraspal Rampal Stadium dengan jarak yang sama.   Serba teratur, khas tentara!
13610115132090021638
Pohonan tinggi menambah kesan hijau lapangan
Jalan beraspal yang halus bagai karpet sangat memanjakan pejalan kaki.  Lebar 15 meter adalah jaminan tak kan ada tabrakan antar pejalan kaki.  Kita bisa menghitung berapa kilo sudah kita melangkah.  Indikator jarak terukir di pinggir lapangan setiap 10 meter, membantu kita berhitung berapa kalori sudah terbakar.  Tapi peduli amat pada kalori, karbo dan sebangsanya.  Pikiran itu akan terlupakan dengan suguhan pepohonan tinggi di sebelah lapangan.  Pohon-pohon yang tampak bijaksana saking tuanya, berderet rapi, mengepakkan rantingnya, melindungi terobosan sinar mentari, juga tembakan rintik hujan.  Malang identik dengan hujan.  Jadi kalau anda beruntung anda akan melihat landscape biru, badan gunung Arjuno dan Panderman disebelah barat dan utara Lapangan.  Jangan lupakan kamera untuk mengabadikan momen yang belum tentu kita jumpai setiap paginya.
Sebagai pusat kebugaran rakyat, Rampal melengkapi dirinya dengan banyak fasilitas.  Bagi anda yang ingin berbody Ade Rai, tak perlu khawatir.  Sederet tools untuk body building tersedia lengkap dan cukup.  Perut Ramping?  Tinggal sit up saja dengan alat bantu di dekat pintu gerbang.  Pull Up?  Tinggal loncat saja kalo sampe di tiang-tang besi yang berjajar rapi.  Otot kaki tegang?  Pijat aja dengan deretan batu beragam rupa yang berderet bak gigi ketimun.  Ingin uji ketahanan jantung?  Jogging track yang teduh, sejuk dan penuh aneka bunga menemani putaran nadi.
13610116681866958977
Jogging Track bak taman surgawi (emang pernah ke sana?)
Bagi penghobi olahraga mainan, tersedia banyak pilihan.  Dua lapangan tenis lapangan, dua lapangan bola utama, 5 lapangan bola ukuran sedang, dua lapangan basket, lapangan voli, bulutangkis.  Sarana jitu untuk mencari kawan baru.
Bagi yang hobi berkebun, tak perlu resah.  Di sisi barat lapangan rampal, di atas lahan yang dulunya kosong, terhampar tanaman jagung dan ketela, cabe, tomat dan temannya bayam.  Benar-benar multitasking.  Buat olahraga juga berkebun.  Tanaman penguat struktur tanah juga tak ketinggalan berkontribusi.  Deretan pohon trembesi merindangi pinggir lapangan.  Sejuk dan hijau.  Tanaman buah melengkapi kesempurnaan harmoni.  Pohon mangga, jambu biji dan air seolah tak rela satu centi pun lapangan Rampal kosong tiada guna.
13610118231772985072
Kebun singkong tunggu panen.., mana tahan…!
Apalagi yang hobinya upacara.  Rampal adalah surganya.  Tiap tanggal 17 setiap bulannya, para tentara berupacara.  Campur dengan pegawai sipilnya.  Namun sayang tak semua tentara hobi upacara.  Nampak dari komitmen sebagian diantara mereka yang terlambat menyambut seruan komandan upacara.  Sebagian berjalan tergesa, sebagian setengah berlari menuju barisan, sebagian lagi pasrah merasa tak akan sampai.  Maka alternatifnya adalah bikin barisan sendiri di kanan kiri mobil yang diparkir di ujung utara.  Entah kedispilinan yang mulai luntur atau karena memang tak pernah ada lawan yang akan membuatnya selalu waspada.  Seandainya saja masih ada Provinsi Timor Timur…
Kembali ke laptop kawan…,
1361011931426495916
Piranti pendadaran tentara
Saya berani bertaruh, jogging track yang mengitari lapangan utara, akan meninabobokkan anda, para pencari keringat, untuk terus berputar dan berjalan.  Pohon ganyong yang berdaun lebar, dengan bunga kuning dan orange, selalu berada di kanan kiri pe-walker.  Napas yang seharusnya berhenti untuk diisi, seolah menemukan tenaganya kembali.  Otot yang biasanya kejang di awal perjalanan, tak terasakan lagi, berganti dengan perasaan lega dan nyaman diteduhi pohon trembesi.
Sepanjang langkah, pejalan kaki disuguhi dengan peralatan latihan militer.  Ada kolam dengan tali yang terjuntai, melatih para tentara untuk tidak kalah dengan tarzan.  Balok kayu bersusun tiga, melatih tentara untuk tidak kalah dengan Usain Bolt, pelari sprint dunia.  Patok kayu setengah meteran yang terhubung satu sama lain dengan kawat berduri, melatih tentara untuk lihai merayap.  Pokoknya semua alat untuk melatih kelincahan dan fisik tentara ada di sini.  Namun sayang.  Balok-balok itu kalah dengan rintik gerimis dan titik hujan.  Mulai lapuk di sana-sini.  Andai pertandingan macam ninja warrior kayak di TV itu digelar di sini, Rampal sudah pasti makin mendunia.   Apalagi ditunjang dengan keberadaan deretan warung kuliner yang berbaris  di luar lapangan.  Setia menunggu pembeli.
1361014447452450889
Setia hingga akhir, menunggu pembeli
Lapar ?  Tinggal lompat pagar.  Haus tinggal julurkan tangan.  Sebotol susu kedelai panas-panas akan menyambut anda.  Penjual minum asong sudah begitu paham hukum ekonomi.  Dalam waktu tak sampai 2 kali pemilu lagi, Rampal akan dipenuhi pedagang kaki lima.  Tantangan buat Kodim 0833 selaku pengelola.
Singkat kata, keringat yang menetes berbanding lurus dengan lemak yang tergelontor.  Bila anda kitari 3 kali saja, itu setara dengan 4 kilometer telah anda lalui.  Berapa kalori yang telah terbakar?  Tidak perlu aplikasi Go Pedometer untuk menghitungnya.  4 Kilo setara dengan 40 menit untuk the walker macam saya.  Maka bila per menitnya terbakar 5,5 kalori, ha…ha..per minggunya saya turun dua kilo. Wow……!  Mau?
Empat hari seminggunya saya selalu putari Rampal.  Aktivitas ini sudah berjalan 2,5 bulan.  Maka berkilo-kilo pulalah lemak saya hilang.  Tiga bulan lalu saya timbang 89 kilo.  Dan sekarang saatnya nimbang.  Syukurlah …Alloh kabulkan usaha keras saya.
Bobot saya sekarang 92 kilo!
Lho?  Itu pasti gara-gara Pak Koswara.  Lelaki sunda yang telah merantau seantero nusantara adalah biang keladinya. Cukup mudah menemukan Pak Koswara di Rampal ini.  Tempat nongkrongnya tepat di depan gerbang timur selatan.  Setiap the walker pasti melewatinya.  Karena ia adalah penjual tahu dan tempe goreng terenak yang pernah saya temui.  Bukan cuma di Malang, tapi juga di Jawa Timur.
Dialah alasan logis satu-satunya.  Karena setiap tetes keringat yang saya keluarkan, berganti dengan lima tetes minyak tahu dan tempe yang saya masukkan.
Ingin gemuk?  Ayo ke Rampal!
13610145821230869260
Insya Alloh kembali lagi
Note:  Semua foto adalah dokumen pribadi.

Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/02/16/ingin-gemuk-rampal-tempatnya-534773.html

Mengapa Tema ‘Politik’ Lebih Diminati

Coba anda cermati tampilan Home Kompasiana.  Arahkan pandangan anda pada kolom Tulisan Terbaru, HighLight atau pun Trending Article.  Tulisan dengan tema apa yang paling mendominasi?  Yuups.., anda benar!  Politik..!  Oleh karena itu jangan kemana-mana, tetaplah di Kompasiana, karena saya akan menuliskan alasan-alasan kenapa tema politik digemari kompasioner.
Berikut hasil investigatif ngawur saya yang cenderung memihak dan tendensius:
1. Selalu uptodate!
Tema politik tak pernah ada matinye. Tak kenal musim hujan dan kemarau. Tak peduli musim durian atau tembakau. Sumber ide tentu dari headline media. Bandingkan bila anda harus menulis dengan tema lain. Maka kompasioner pun bergairah, panas membara, karena selalu duduk pada media yang menjadi kompornya. Tema yang berbanding lurus dengan semua kanal media baik cetak atau elektronik semakin memancing keingintahuan pembaca untuk mendalami suatu kasus tertentu. Kompasioner pun dengan cerdik membungkus, analisis-analisis yang biasanya bersumber dari pengulangan ulasan para pengamat politik dengan judul-judul yang bombastis, memancing kompasioner lainnya untuk mengkliknya. Lihat saja ketika kasus PKS muncul, bisa dibilang tema-tema yang lain langsung tenggelam kalah cepat juga kalah jumlah. Efek positifnya, kompasioner yang mulai jenuh dengan tema politik mulai mengarahkan mousenya ke tema-tema yang sepi peminat dan berat.
2. Budaya Ngrumpi
Budaya ini diklaim sebagai budaya perempuan Indonesia. Tapi bila anda jeli, penulis tema politik didominasi kaum adam. Adam yang sesungguhnya. Bukan Adam Inul. Apakah ini pertanda bahwa sebenarnya budaya ngrumpi adalah budaya universal? Tidak terbatas pada gender tertentu? Atau barangkali pengaruh metroseksual, sehingga para pria jaman sekarang bukan hanya pesolek tapi juga perumpi? Lebih jauh lagi, coba anda klik tulisan dengan komentar terbanyak. Maka para komentator itu , sebagian besar diantaranya adalah lelaki. Pas dengan tagline coklat kesukaan anak saya: Panjaaaaaang dan laaaaaamaaaa…itulah Laki-laki!
3. Motif Ekonomi
Bagi profesional, pergerakan tema politik menjadi ladang ekonomi yang menggiurkan. Pengamat politik muda saling bergantian menghiasi kaca depan televisi anda. Selain terkenal (investasi politik yang sangat penting di masa depan) juga amplopnya kenyal. Perlu proses panjang bagi mereka untuk bisa tampil dan memberikan pendapatnya. Pengamat yang paling sering diundang, tentu saja pengamat yang bisa melahirkan komentar yang benar-benar beda. Unik. Orisinil. Dan kalo perlu sedikit kontroversial. Mereka telah menginvestasikan ribuan jam tidur mereka dengan melek’an membuka lembar-demi lembar teori politik, histori kelompok ataupun perorangan, memikirkannya hingga lupa mandi, merenungkannya hingga tak gosok gigi, lalu menuliskannya. Ya tulisan adalah prasasti abadi pemikiran. Maka seorang pemimpin akan dikenang sepanjang masa bila mampu meninggalkan jejak pikirannya dalam bentuk tulisan.
4. Politik Kepentingan
Media adalah alat yang paling ampuh untuk merebut hati rakyat. Sudah sejak jaman romawi patron ini dipahami. Inilah mungkin alasan yang paling masuk akal kenapa Hari Tanoe, selepas keluar dari Nasdem, diperebutkan banyak pihak. Bagi yang memiliki keterbatasan modal mengakses media, apalagi media elektronik, maka media gratisan macam kompasiana adalah surga. Kurang 14 bulan lagi helatan akbar lima tahunan digelar. Maka perang pun dimulai. Dari yang sekedar promosi ataupun pencitraan , hingga black campaign menghiasi setiap tema politik yang dibahas. Pikirnya, kalo gak sekarang kapan lagi? Mumpung gratis…
5. Serangan Balik
Bagi lawan politik, setiap tulisan yang menjerumuskan atau menyerang parpolnya adalah tantangan. Loe jual, Gue Beli. Maka pembelaan silih berganti dari pihak yang pro dan kontra selalu terbit setiap menitnya. Akibatnya tema-tema politik terjebak dalam arus berbalas pantun. Pembaca pun disuguhi tema politik membela diri. Ada semacam hak jawab yang harus ditunaikan, bila suatu tulisan memuat hal yang miring tentang partainya.
Saya tidak skeptis ataupun pesimis. Dari kelima alasan itu, ada satu yang membuat saya tetap optimis. Gairah penulis politikkompasioner.
Mudah-mudahan kelak, saat saya menonton tivi ada pengamat yang memperkenalkan dirinya, saya pemerhati politik dan saya adalah…..Kompasioner!

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2013/02/12/mengapa-tema-politik-lebih-diminati-kompasioner-533532.html

Idiopatic Trombositopenia Pupura

Mestinya bukan begitu penulisannya, tapi begitu cara bacanya.  Orang bahkan sering menyingkatnya hanya dengan ITP.   Bagi awam kayak saya, I adalah Idiopatic, artinya tak diketahui penyebabnya, Trombitopenia ya ada kaitannya dengan trombosit tentunya, sering diterjemahkan sebagai kondisi dimana trombosit dalam keadaan minimalis.  Pada orang yang normal, trombosit berada dalam rentang 150.000 sampai 350.000 per mikroliter.  Pada penderita ITP jumlah trombosit kurang dari 15.000 per mikroliter.  Jangan percaya kalo saya katakan trombosit saya saat itu cuma 1.000 per mikroliter.  Saya sendiri juga gak percaya.  Tapi begitulah dokter bilang, sambil menepuk-nepuk pundak dengan tak lupa membesarkan hati, “Banyak-banyak berdoa ya diik..”  Nah terakhir P adalah Pupura, artinya bintik atau bercak kebiruan kayak luka memar habis dipukul.
******
Hari itu, Rabu 26 Desember 2007 adalah hari yang mengherankan sekaligus istimewa.  Di ruangan poli spesialis kulit sebuah rumah sakit umum milik pemerintah , tempat di mana saya mengeluhkan munculnya bintik hitam yang muncul di lengan dan lidah, tersaji sebuah pergumulan yang tidak seimbang.  Seharusnya satu pasien, duduk berhadapan dengan satu orang spesialis kulit.  Begitulah yang ada dalam bayangan saya.  Satu lawan satu, dokter dan pasien.  Tapi yang tak terduga adalah rombongan co-ass nya.  Lebih dari 12 dokter-dokter muda itu mengepung saya.  Berebut hendak melihat lengan, memegangnya bahkan meminta saya membuka rongga mulut untuk membuktikan kebenaran kabar tentang adanya bintik hitam di lidah dan gusi saya.
Risih juga menerima perlakukan tak terduga macam itu.  Lha wong bukan selebritis kok dirubungi.  Macam gula saja dikerubuti semut.  Tapi yah apa boleh buat.  Saya kan cuma seorang pasien.  Dari sudut pandang manapun seorang pasien selalu diposisikan sebagai objek.  Dan selama 15 menit dikeroyok bercampur dengan ‘intimidasi medis standar’ seperti : sejak kapan menderita, riwayat keluarga, penyakit turunan, keluhan fisik,  pendarahan, aktivitas harian, pola makan dan gaya hidup de el el, hasilnya adalah selembar kertas yang berisi coretan untuk merujuk saya ke ahli planologi, eh patologi klinis.  Itu lho bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh.  Alamaak, batin saya berteriak.  Habis dari patologi klinik kira-kira mau dirujuk ke mana lagi ya?  Mudah-mudahan bukan kamar jenazah!
Pikiran saya patut berontak.  Kali pertama saya datang memang bukan di poli spesialis kulit.  Tapi Poli Gigi.  Itu berkaitan erat dengan perdarahan yang keluar dari sela-sela gigi.  Tidak terlalu mengucur sih, namun tetap saja mengganggu.  Karena ia menggumpal kayak sisa makanan yang nyangkut di gigi.  Bila gumpalan ini dibersihkan, darahpun kembali mengucur.  Dokter bilang ada salah satu gigi saya yang patut dijadikan tersangka.  Karena ada dua alat bukti yang cukup kuat untuk menetapkan gigi tersebut sebagai tersangka.  Pertama, karena disitulah darah berasal.  Kedua, gigi tersebut goyang, tidak menancap kuat kayak tetangganya.
Saya sudah bersiap membuka mulut dan dokterpun sudah menyiapkan catut dan pencongkel gigi.  Macam tahanan di kamp penyiksaan, dokter sudah menyentuhkan catutnya.  Ada perasaan tak enak saat itu.  Saya pun minta penangguhan pencabutan.  Kuperlihatkan lidahku.  Bintik hitam itu ternyata membuat dokter mengurungkan niat eksekusinya, dan tanpa kuminta ia pun merujukku ke poli kulit.
Ternyata nasib adalah pikiran itu sendiri.  Apa yang kita pikirkan maka itulah nasib kita.  Dokter spesialis patologi klinik pun pada akhirnya meminta saya datang esok, setelah sebelumnya membuat catatan beberapa tes yang harus saya lalui di laboratorium.  “Jangan ke sini tanpa hasil tes “, pintanya tegas.
******
Malam belum larut, dan hati galau juga tak surut.  Semakin petang, bukan cuma bintik yang bertambah.  Namun frekuensi pendarahan juga semakin sering.  Istri berinisiatif membawaku ke dokter umum.  Dokter askesku.  Hanya sekilas dia melihat lengan dan lidah, memandangku dengan agak cemas.  Menuliskan sesuatu.  Lalu berkata, “Bapak terindikasi ITP.  Ini rujukannya.  Pergilah ke Poli spesialis dalam.  Jangan ditunda.  Pendarahan bapak sudah parah..”.
Saya bersyukur.  Sangat bersyukur.  Orang mungkin heran.  Lha wong dikasih sakit masih sempat-sempatnya bersyukur.
Saya patut bersyukur.  Tuhan telah mengirim seorang dokter umum untuk saya.  Yang dengan penjelasannya telah menenangkan saya.  Yang dengan diagnosa singkatnya telah mempercepat perawatan medis saya.
Dan lagi-lagi saya wajib bersyukur.  Yang dengan skenarionya Tuhan telah menyelamatkan gigi saya.

Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/02/12/idiopatic-trombositopenia-pupura-indah-di-dengar-tak-indah-di-rasa-533492.html

Selasa, 05 Februari 2013

Eksotisme di Tengah Ketidakpedulian: Ironi Candi Pari

1360070397745446979
Plang satu-satunya di dunia ttg Candi Pari (dok:pribadi)
Kayaknya media punya jalinan asmara yang sama. Seluruh kanal dibanjiri dengan hujatan dan koring (komen miring) pada sapi. Kasihan binatang satu ini. Terpaksa menanggung beban kambing. Yang biasanya menjadi andalan orang-orang ketika suatu target tak tercapai, ketika suatu rencana tak menjadi fakta. Maka kambing hitam pun hilang. Berubah menjadi sapi hitam.
Lupakan sejenak tentang sapi, maka minggu pagi kemarin menjadi pelampiasan. Nggowes yang kami rencanakan sehari sebelumnya menjadi momen-momen indah menghilangkan bosan dengan aneka kebencian dan hujatan. Tujuan kami saat itu cuma satu: Candi Pari. Situs Purbakala yang tak pernah kami duga, ternyata hanya berjarak tak lebih dari belasan kilometer saja. Bener tak pernah kami duga, kalo Sidoarjo yang telah kami tetapkan sebagai tempat tinggal kami, menyimpan sejuta cerita, mengabadikan begitu banyak legenda, dan menjadi saksi peradaban beratus tahun sebelum kelahiran nenek saya.
Maka perpancalan pun dimulai. Tepat jam 5.45 WIB episode sejarah nenek moyang pun mulai kami koyak. Keingintahuan Fatah, anak kedua , yang kebetulan hari itu menemani saya, sangat besar. Sebesar keheranan dan ketidaktahuannya kalo ternyata Sidoarjo memiliki situs candi. Disayangkan memang di usia 14 tahunnya, anak SMPIT Dafi tak tahu menahu tentang histori Sidoarjo. Wujud ketidakberhasilan Pemkab Sidoarjo (via Dinas Pariwisata tentunya) mensosialisasikan kekayaan wisata daerah sendiri. Hmm…
Kami mengambil jalur memutar. Melewati mbulak, jalan beraspal sempit yang kanan-kirinya menghijau, berhiaskan padi belia. Tumbuh subur tanpa diiringi kekhawatiran diterjang aliran liar lumpur lapindo. Sepasang petani suami istri mempertontonkan kolaborasi yang romantis. Si Laki mendorong sapi bermesin dengan sekuat tenaga. Perempuannya membungkuk sembari menusukkan tanaman padi belia. Orang-orang menyebutnya ‘tandur’. Noto Mundur. Bertanam sambil mundur. Filsafah kepemimpinan yang hakiki. Karena keberhasilan seorang pemimpin bukanlah dihitung dari lamanya menjabat, tapi keikhlasan untuk mundur setelah meninggalkan karya yang nyata. Setelah menciptakan genarasi penerus yang ia yakin bermanfaat. Sinar mentari meski masih berhemat seolah takut kehabisan stok, telah mampu memompa butiran air di wajah keduanya. Peluh sudah pasti membanjiri pipi, leher, dada dan ketiak yang terseka otomatis dengan kain lusuh yang membalut tubuh mereka. Sungguh keringat mereka adalah keringat kualitas satu. Tidak sama dengan keringat yang saya cucurkan. Karena keringatku lahir dari niat untuk menghilangkan gelonggong lemak yang mengitari pinggang dan paha. Sedangkan mereka lahir dari niat yang tulus untuk memberi penghidupan anak turunnya. Keberkahan luar biasa yang menjauhkan mereka dari sakit dan ketidakberdayaan.
Bagi awam yang pernah ke Borobudur, Prambanan, dan candi-candi sekitarnya, Candi Pari mungkin tidak begitu istimewa.  Susunan batu alam yang kokoh yang membentuk tubuh candi Borobudur dan kawan-kawan tak dapat dibandingkan keangkuhannya dengan tumpukan batubata merah yang membody Candi Pari.  Hamparan luas dan panorama view yang membalut Borobudur dan Prambanan jauh lebih eksotik dibanding dataran rendah seluas 13,55 x 13,44 meter bujursangkar yang mengurung Candi Pari.  Borobudur setinggi 34,5 meter tentunya lebih jangkung dibanding 13,8 m tinggi Candi Pari.  Apalagi soal aksesorisnya.  Dengan koleksi 1460 relief , 504 arca dan 72 stupa, Borobudur ibarat Goliath. Pada lokasi candi Pari hanya ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesha dan 3 arca Budha.  Itupun semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.  Jangan juga bertanya tentang perhatian pemerintah daerah setempat.  Banyaknya lumut yang menutup permukaan candi, pagar kawat berduri ala kowboy, serta jam buka yang tak tentu semakin meneguhkan sikap tak acuh pemda Sidoarjo.
Lantas apanya yang menarik?
Langsung saja saya bocorkan.  Keunikannya mas Bro dan Mbak Sis.
Tidak seperti candi-candi di tanah Jawa, Candi Pari lebih mirip tugu raksasa.  Pengaruh Campa sangat kental pada fisik candi.  Tambun dan kokoh.  Sekilas mirip dengan Candi Muara Takus di Jambi.  Dengan dominasi batu bata merah yang melilit badannya, melahirkan begitu banyak kekaguman dan pertanyaan.  Bagaimana merekatkan bata satu dengan lainnya?  Tanpa melibatkan semen apalagi besi untuk menopang tegaknya tubuh candi.
Kesan mistis langsung terasa begitu kita masuk  ke dalam bilik candi.  Ruangan persegi seluas 5 x 5 m2 tampak lengang.  Tampak bekas sajen bertaburan bunga yang layu merapat di dinding Timur.  Berlawanan dengan arah pintu masuk.  Beberapa patung kecil tak berkepala semakin menambah kesan seram.  Meski disiang hari sekalipun.  Ruangan bilik candi begitu terang pada pagi itu.  Lubang ventilasi yang mengelilingi candi mengalirkan udara sekaligus cahaya.  Kesan pengap pun sirna.
13600705511033097107
Puncak Candi Pari (Sumber: dokumen pribadi)
Tidak mudah untuk menemukan Candi Pari.  Tak ada papan nama sama sekali.  Gosipnya sih dulu di pertigaan tugu kuning dipasang plang yang mengarahkan pengunjung ke lokasi candi.  Tugu Kuning?  Ya semacam tugu untuk mengingat perjuangan Marsinah, buruh pabrik jam yang meninggal karena mempertahankan hak kaum buruh saat itu.  Pabriknya sendiri sudah musnah ditelan lumpur.  Tapi tugunya tetap berdiri kokoh seolah menantang lumpur lapindo untuk menenggelamkannya.
Tugu kuning sendiri tidak kami lalui.  Sensasi nggowes dengan jalurnya yang menantang memaksa kami membuat jalurnya sendiri.  Tidak terlalu ekstrim sih, namun memaksa kami untuk bertanya setiap kali dihadapkan pada dua pilihan jalan yang bercabang.
“Nderek tanglet Pak/Bu/Mas, Menawi badhe teng Candi Pari medal pundi nggih?”
(Numpang nanya pak/bu/mas, jalan ke candi pari lewat mana ya?).

1360070650530689958
Lumut memenuhi lantai sisi utara Candi Pari, Indah memang, namun menghancurkan..(Sumber: dokumen pribadi)
Tak perlu khawatir jawaban : Tak tahu mas….   Semua orang di area candi:Tanggulangin, Pamotan, Porong dan Candi Pari sendiri seolah terlahir sebagai guide yang baik.  Maka sensasi beriringan di pematang sawah, menerobos terowongan di sebelah sungai, serta menembus jalan di atas tol menghilangkan rasa pegal yang menyerbu otot kala pertama kali mancal.
Tak perlu bawa air minum cadangan.  Hukum ekonomi telah menyediakannya.  Sekitar candi ada penjual minuman, meski tak terlalu banyak.  Namun jangan harap bisa masuk areal candi tanpa perjanjian lebih dahulu.  Akibat terlalu percaya diri, kami harus menunggu 2 jam lamanya menunggu penjaga candi datang.  Kalaupun kami akhirnya berhasil masuk lokasi candi, bukan karena penjaganya datang, tapi karena penjual warung depan candi kasihan melihat kami yang kelamaan menunggu.  Sehingga tanpa diminta ia keluarkan dari kantongnya kunci untuk membuka selot pagar.  Ya ampun pak…, kok gak dari tadi sih..?
Awalnya saya menyangsikan kekuatan injak trap/anak tangga candi.  Batu bata bro?  Kuat nggak ya menopang 90 kg jasad ini?  Maka dengan hati-hati kulangkahkan kaki menuju pintu bilik utama.  Tak seperti candi di Jawa , anak tangga menuju pintu bilik candi tidak dalam satu garis lurus.   Tapi terbagi dua kiri dan kanan candi.  Persis panggung ketoprak , harus naik dari sisi kiri atau kanannya.  Semuanya batu bata.  Kecuali trap yang mengarah ke pintu bilik candi.  Sangat curam.  Perlu tenaga ekstra untuk melewatinya.
1360070856616696105
Sisi Selatan Candi Pari tak jauh beda dengan sisi utara , penuh hamparan hijau lumut (sumber : dokumen pribadi)


13600710041355253882
Sudut Tenggara Candi…, seandainya tumpukan batu bata itu masih utuh…(sumber : dokumen pribadi)

1360071121442544163
Sudut tenggara yang cantik, ada yang ingin bikin prewedding photo? (sumber: dokumen pribadi)
Meski beberapa kali direnovasi , terakhir diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika 1 Mei 2001, namun lumut tumbuh dengan nyamannya di setiap sisi candi.  Jangan salah, menurut penuturan penjual minuman yang membukan pintu candi, lumut ternyata hanya tumbuh pada batu bata hasil renovasi.  Batu bata asli buatan tahun 1371 masehi yang mendominasi dinding candi, tidak kena lumut sama sekali.  Mungkin pada tahun-tahun itu, tahun di mana Om Gajah Mada masih segar bugar, belum dikenal makelar proyek.  Belum ada fee atau komisi untuk kuota produksi batubata.  Belum ada gratifikasi…
13600712222046286705
Taman depan pintu bilik candi, lengkap dengan dua sejoli, sepeda cantik (sumber: dokumen pribadi)
Maka perpancalan ke Candi Pari Minggu itu, memberikan banyak pencerahan.  Ternyata nenek moyang kita adalah pembangun peradaban yang jenius.  Peradaban yang membuat bangga anak turunnya.  Peradaban yang membuat kita optimis bahwa korupsi bukanlah budaya asli milik sendiri.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More