Sabtu, 05 November 2011

Panitia Qurban (jadi) Korban


Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Tak bertele-tele, penunjukkan penanggungjawab didasarkan pada data historis. Artinya, orang yang dari tahun ke tahun kebagian ngurus pelaksanaan sholat, mulai dari cari penceramahnya, persiapan lapangan yang hendak digunakan, hingga penyiapan alat, maka untuk tahun ini juga ditetapkan menjadi penanggung jawab kegiatan yang sama. Begitu pula orang yang sejak dulu bertugas membeli hewan kurban, langsung ditetapkan menempati pos yang sama.

"Sudah pengalaman!", kata warga serempak.
"Serahkan pada ahlinya..!, yang lain tak kalah menimpali.
"Kita memang tak boleh ambil resiko dengan menaruh orang yang sama sekali tak mengerti dengan tugas-tugas mulia seperti ini", kata ketua takmir menengahi.

Jadilah panitia pelaksana kurban, dari tahun ke tahun tak pernah berubah. Inilah kalau panitia tak digaji. Semua orang berebut untuk..., menghindar! Beda sekali bila yang diperebutkan adalah jabatan dengan gaji tinggi dan segenap fasilitas yang menempel padanya. Tak kan ada alasan 'sudah pengalaman, sudah ahli, atau hanya sekedar meminimalisir resiko'.

Rapat pertama dan terakhir ini langsung ambil keputusan. Harga kambing per ekor termasuk biaya administrasi Rp1.025.000,- Sedangkan 1/7 bagian sapi Rp1.200.000,- sudah termasuk biaya administrasi. Untuk pertama kalinya, harga kurban baik kambing maupun sapi, menurun dari tahun sebelumnya. Tahun lalu, kambing dihargai Rp1.200.000,- termasuk ongkos, sedang sapi Rp1.250.000,-. Luar biasa panitia kita. Di saat harga-harga melonjak naik, tarif berkurban malah diturunkan. Untuk memastikan penyembelihan hewan kurban terselenggara, rapat sekaligus menodong yang hadir untuk sukarela berkurban sapi. Jadilah malam itu satu sapi, urunan dari panitia yang hadir, berhasil dipastikan jadi kurban.

Tak pakai lama, surat edaran pemberitahuan dan himbauan untuk berkurban segera didistribusikan. Respon warga adem-ayem. Panitia pun nyaman. Idhul Adha tahun 2011 kali ini jatuh pada hari Ahad, 6 November 2011. Panitia telah merencanakan untuk membuat terpal pelindung hewan pada Jumat dua hari sebelum Idhul Adha.

Kamis sore datanglah satu warga menggiring satu kambing. Pak Yono salah satu takmir yang ketiban sampur tak dapat menolak kambing warga. Selepas sholat maghrib, tak seperti biasanya, ia mencegat langkah saya.

"Pak, ada kambing di rumah saya. Penginapannya di mana ya?" tanyanya penuh harap. Saya mengerti benar. Ada nada keberatan dalam pertanyaannya itu. Dan saya sebagai ketua takmir memang paling pantas sebagai tempat jujugan, meski dalam kepanitiaan kurban, saya hanya cheerleader saja.

Memang sih terpikir untuk dititipkan satpam perumahan. Tapi itu diluar kesepakatan dari yang seharusnya hari Jum'at. Lagian saat itu rintik dah mulai turun. Kasihan kambingnya. Tak ada tempat untuk berteduh. Beda dengan sapi, kambing memiliki daya tahan tubuh yang jauh lebih lemah. Kehujanan sepanjang malam, bisa membuatnya flu,batuk dan pilek. Padahal masih tiga hari lagi. Kalo mati? Siapa yang harus mengganti? Ini masalah besar! Dan harus segera diputuskan!

Usai sholat Isya, kami menunggu satu takmir lagi. Saya pikir kalo tiga orang yang memutuskan lebih kuat di depan hukum daripada dua orang yang kebingungan. Akhirnya keputusan pun diambil. Kambing ditaruh di musholla. Persis di tempat wudhu wanita, yang selama ini jarang digunakan. Marbot pun bersedia untuk membersihkan selepas kambing dipindah ke tempat yang seharusnya. Satu persoalan tuntas sudah! Meski sepanjang malam, hati saya dag dig dug. Kalo hilang siapa yang harus ganti?

Kandang kambing sudah dibuat. Kebanyakan warga menggiring kambingnya sendiri. Sikap ini mendapat dukungan penuh panitia. Tak perlu keliling cari kambing. Meski begitu ada dua warga yang menitip uang ke panitia. Jadilah Sabtu itu kita gunakan untuk berburu kambing. Alamak..., setelah puas berpusing-pusing (malay punya istilah neh) tak ditemukan satu pun penjual melepas kambing dengan harga Rp1 juta. Untuk ukuran yang paling kecil saja sudah Rp1,2 juta.

Syukurlah Alloh melihat usaha kami. Melalui tukang batu yang sedang merenovasi rumah tetangga, didapatlah info kalo dia pelihara kambing. Meluncurlah kami kesana. Untuk satu ekornya kena Rp950.000,- Alhamdulillah. Meski ukurannya sama dengan yang seharga Rp1,2 juta. Mudah-mudahan warga yang berkurban tidak kecewa. Melihat kambing lain yang dibawa sendiri oleh masing-masing pengkurban jauh lebih besar.

Inilah resiko jadi panitia! Resiko yang kemudian menjadi guyonan diantara kami.

"Ntar kalo pengkurban protes, kenapa kambingnya kecil, harus ada yang bersedia menjelaskan lho ya", ingat saya.
"Makanya kami pergi bertiga Pak", jelas Pak Sokeh yang mempunyai beban moral, karena kambing dibeli dari tukang batu yang merenovasi rumahnya.
Karena beban moral itulah mungkin yang membuat Pak Sokeh punya usulan antik. "Bagaimana kalo tahun depan, Sapi kita patok Rp1.250.000, - sedang kambing Rp1.500.000,- Pak?", katanya sambil ketawa-ketawa kecil.

Kurban kambing jauh lebih mahal dari Sapi?

"Ya Pak, dengan begitu semua orang pasti pilih sapi. Kalopun mau kurban kambing, orang itu pasti beli sendiri, yang jauh lebih murah", lanjutnya tenang.

Saya ketawa. Takmir yang lain tak jauh beda.

BILA ANDA SUKA DENGAN ARTIKEL INI, MOHON KLIK VOTE FOR ME PLEASE.. Top Blogs keywords hint: Haji, Perjalanan ke tanah suci, perjalanan diri, berbagi perjalanan.
Artikel Terkait Lainnya :

1 komentar:

sama dengan ditempat saya. ini masih lebih enak, ditempat saya panitia ada yang mengeluarkan uang pribadi karena harga kambing disini melonjak jauh dari penetapan awal.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More