Kamis, 23 September 2010

Kesan Pertama Begitu Menggugah




Silaturahmi fisik yang terputus sejak 4 tahun lalu,
menjadi motivasi utama untuk mengunjungi keluarga di Palu.
Sabtu, 11 September 2010.


Perjalanan mudik ke Palu memang telah kami rencanakan setahun yang lalu. Awalnya sempat ragu. Kondisi kesehatan saya yang belum fit benar menjadi pertimbangan utama. Antara jadi dan tidak bergantian mengisi ruang utama pengambilan keputusan benak kami. Setelah mencermati perkembangan penyakit yang selama februari sampai dengan agustus 2010 tidak juga menunjukkan perkembangan berarti (trombosit masih berkisar 90 ribu dari normal yang minimal 150 rb) maka bismillah kami putuskan untuk beli tiket, 5 dewasa , 1 infant. Hi..hi..hi.., meski dalam kondisi sakit produksi anak jalan terus.
Kaget juga saat memburu tiket. Betapa tidak. Harganya melambung. Aji mumpung kayaknya mendominasi maskapai penerbangan. Harga gak boleh turun, meski pada penerbangan H + 1 sekalipun. Kelak kebijakan yang saya duga ini terbukti. Banyak seat kosong pada penerbangan yang kami ambil. Jadilah kami berenam memisahkan dirinya masing-masing. Memilih seat dengan posisi view terbaik. Dekat jendela. Maksudnya agar bisa lihat pemandangan sekeliling kayak di bis. Namun orang juga namanya pesawat terbang, pemandangannya tidak berubah. Awan putih melulu.
Syukurlah kami tidak perlu transit di Makasar. Cuma perlu waktu 1 jam 45 menit di udara. Kami landing tepat 15.30 WITA dari yang seharusnya 14.30 WITA. Keterlambatan saat pemberangkatan mungkin ada pemeriksaan mesin yang memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Untung saja pengelola bandara begitu transparan. Terpampang lebih di lima tempat, sebuah tulisan tentang kompensasi yang harus diberikan maskapai pada penumpangnya , jika terjadi keterlambatan. Karena hanya molor 1 jam saja, alhamdulillah dapat snack satu2. Lumayan, meskipun dalam hati saya berharap agar molornya lebih dari 90 menit, agar kompensasinya : makan siang! Hi..hi..hi..dasar gentong.
Tak dinyana tak diduga, rombongan penjemput di bandara Mutiara Palu lebih dari satu kompi. Lama tak jumpa ( 4 tahun ) membuat wajah2 keponakan ber-evolusi. Pada mirip artis. Ammar anak tertua saya, memilih bergabung dengan geng motor keponakan, daripada naik mobil. Lebih silir katanya.
Perjalanan dari bandara ke rumah hanya memakan waktu 20 menit saja. Palu sudah berubah. Ada sedikit kecewa dalam hati. Pohon-pohon besar yang dulu menaungi jalan sepanjang bandara, entah hilang kemana. Palu benar-benar meranggas. Jalur dua (istilah populer orang palu untuk menyebut jalan Moh Yamin) tak jauh beda. Bahkan masih ditambah dengan taman yang dipenuhi dengan ilalang. Padahal sepanjang jalur dua adalah area perkantoran. Masak tak satupun yang punya dana untuk mempercantik halaman depan kantornya? Mungkinkah ini wujud ketidakpedulian pada Palu tempat tinggalnya? Ataukah wujud keengganan pemkot Palu untuk memberdayakan perkantoran di wilayahnya? Entahlah.
Sepanjang jalan itu saya banyak melihat baliho besar2. Para calon bupati, walikota bahkan gubernur yang mengajak orang untuk jangan ragu memilih dirinya. Banyak program ditawarkan. Tapi tak satu pun yang peduli dengan kebersihan dan keindahan kota.
HB Paliudju yang mencanangkan Kunjungan Wisata di Sulawesi Tengah dengan menjadikan Palu sebagai pintu masuknya mungkin hanya bermimpi. Perlu kerja keras untuk membuktikan bahwa Palu layak sebagai pintu masuk Sulawesi Tengah.
Inilah kesan pertama saya. Selaku wisatawan , sekaligus sebagai orang Jawa yang menjadi bagian dari komunitas Kaili.

BILA ANDA SUKA DENGAN ARTIKEL INI, MOHON KLIK VOTE FOR ME PLEASE.. Top Blogs keywords hint: Haji, Perjalanan ke tanah suci, perjalanan diri, berbagi perjalanan.
Artikel Terkait Lainnya :

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More