Semoga Komodo Bukan Komoditas Politik

Masih ingat 'gladiator'? Ia merupakan salah satu film favorit saya. Masih terekam dalam benak saya, ucapan Commodus Patricide, tatkala bermaksud mengurangi pengaruh Senat Romawi, dengan pernyataannya, "Berikan pada rakyat apa yang mereka sukai. Maka mereka akan menyerahkan hatinya padamu".

Haji Sandal Jepit

Bingung? Istilah ini mulai populer ketika musim haji tiba. Kalau anda mendengar pemberitaan koran yang ramai-ramai mewartakan adanya jamaah haji yang gagal berangkat melalui biro perjalaan haji, maka mereka yang gagal inilah yang ditempelkan kepada mereka sebutan 'haji sandal jepit'.

Orang Jawa Punah

Tidak sebagaimana suku-suku lainnya yang ketat mengadministrasikan garis keturunan melalui nama keluarga, farm atau marga kayak suku Batak, Minangkabau, Minahasa, Ambon, Timor, Nias, Dayak dan Toraja, jarang keluarga Jawa yang menadministrasikan dengan baik silsilah keturunannya.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Jumat, 28 Januari 2011

Kota tumpangan




Apa arti sebuah kota bagimu? Kalo itu ditanyakan pada sebagian besar orang, mungkin jawaban terbanyak akan mengerucut pada memori kota kelahiran.


Setiap dari kita memiliki kenangan terindah tentang hal ini. Apalagi buat mereka yang sejak lahir sampe dewasa tidak pernah berpindah kota, entah untuk bekerja ato sekolah. Tapi buat kaum nomaden (dan saya termasuk salah satunya) membandingkan kota kelahiran dengan ribuan keping peristiwa didalamnya dengan kota yang harus disinggahi karena tuntutan pekerjaan bukanlah perkara mudah. Pekerjaan yang tersedia di kota-kota tertentu (maksudnya tak semua kota memiliki kantor perwakilan/cabang perusahaan tempat kita kerja) mengharuskan kita untuk menetapkan pilihan kota mana yang terbaik untuk membesarkan anak-anak kita. Dan sekali keputusan diambil, maka rentetan konsekuensi dibelakangnya mengikut dengan setia.

Bagi anak-anak, kota pilihan kita harus terpaksa dinikmati tanpa ada penolakan. Mereka mulai membangun komunitasnya sendiri. Kesibukan kerja dan aktivitas telah melenakan kita pada suatu titik kenyataan bahwa kota pilihan itu adalah kota yang menjadi memori perilaku dan pikiran anak-anak. Hanya cerita masa lalu yang kita timpakan pada benak mereka, anak-anak kita, tentang romantisme masa kecil kita. Sungai yang jernih, listrik yang minim, media visual yang terbatas hingga kenakalan khas tempo dulu yang tak pernah lagi menjadi bayangan anak kita.

Sampe di sini kita merasa bangga dengan kota pilihan orang tua kita. Kota yang menjadi tempat tumbuh kembang kepribadian dan mental kita. Pertanyaannya tentu saja: apakah rasa bangga itu juga muncul pada anak-anak atas kota yang dipilihkan orang tuanya untuk mereka gauli. Untuk mereka nikmati?

Sidoarjo, adalah kota yang kami putuskan sebagai lahan mendidik anak. Alasannya sederhana. Lokasinya berada di pertengahan antara Jawa Tengah , tempat lahir saya, dengan Sulawesi Tengah , tempat lahir istri saya. Begitulah anak-anak tumbuh dan menemukan keasyikannya sendiri. Teman-teman yang semakin banyak. Lingkungan yang tidak asing. Dan kebanggaan pada pernak-pernik yang melekat di kota ini. Deltras Sidoarjo juga lumpur panasnya. Mereka terlihat mulai mencintai kotanya.

Tapi saya pesimis bisa menumbuhkan kebanggaan itu secara permanen. Ritual mudik setiap tahunnya menyadarkan mereka, bahwa masih ada kota lain yang lebih lekat historinya dengan ayah ibu mereka. Lekat dengan merahnya darah dalam tubuh mereka. Keyakinan yang menggoncangkan jiwa mereka akan adanya kenyataan bahwa Sidoarjo bukan apa-apanya mereka. Bukan kota kelahiran mereka. Bukan kota orang tua mereka. Tak ada sanak tak ada keluarga. Dan saya yakin sekiranya Tuhan melimpahkan umur panjang pada saya dan istri yang menetapkan pindah ke kota kelahiran salah satu dari kami, akankah mereka : anak-anak itu mengunjungi Sidaorjo? Bila saja kehidupan dewasa mereka adalah kota yang berbeda?

Ternyata, kami sekedar numpang saja. Makan dan tidur di sini. Sedih rasanya tak bisa memberikan kebanggaan tentang kota memori pada mereka. Penerus aliran darahku.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More