Semoga Komodo Bukan Komoditas Politik

Masih ingat 'gladiator'? Ia merupakan salah satu film favorit saya. Masih terekam dalam benak saya, ucapan Commodus Patricide, tatkala bermaksud mengurangi pengaruh Senat Romawi, dengan pernyataannya, "Berikan pada rakyat apa yang mereka sukai. Maka mereka akan menyerahkan hatinya padamu".

Haji Sandal Jepit

Bingung? Istilah ini mulai populer ketika musim haji tiba. Kalau anda mendengar pemberitaan koran yang ramai-ramai mewartakan adanya jamaah haji yang gagal berangkat melalui biro perjalaan haji, maka mereka yang gagal inilah yang ditempelkan kepada mereka sebutan 'haji sandal jepit'.

Orang Jawa Punah

Tidak sebagaimana suku-suku lainnya yang ketat mengadministrasikan garis keturunan melalui nama keluarga, farm atau marga kayak suku Batak, Minangkabau, Minahasa, Ambon, Timor, Nias, Dayak dan Toraja, jarang keluarga Jawa yang menadministrasikan dengan baik silsilah keturunannya.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Sabtu, 16 Februari 2013

Rampal, Pusat Kebugaran Rakyat

Lapangan Parade Rampal Tepat jam Enam pagi
Siapa yang tak kenal Rampal?  Kalau pertanyaan ini ditujukan pada saya satu tahun yang lalu, maka telunjuk ini tak kan malu-malu mengacungkan dirinya.  Bagi orang di luar Malang, Rampal adalah nama yang asing.  Tapi tidak bagi aremania.  Orang sering menyingkatnya lapangan Rampal.  Meski sebenarnya tidak sesingkat itu.  Nama panjangnya adalah Lapangan Raaaaaaaaammmmmmmppaaaaaaaaaal.  Tergantung anda mau sepanjang apa dia.  Hi..3x weleh-weleh.
Nama resminya sesuai KTP adalah Lapangan Parade Brawijaya Rampal Malang.  Tercatat sebagai aset Kodam V Brawijaya.  Dikelola oleh Kodim 0833 Kota Malang.  Dan terakhir, ini bagian yang paling menarik, ia adalah jujugan utama saya saat berkunjung ke Malang.
Hampir tiap pagi saya selalu mengelilinginya.  Bukan untuk membuktikan kebenaran luasnya yang ngaudubillahi sampai 1,5 km2 namun sebagaimana banyak dilansir media internasional, hanya untuk menurunkan berat badan pada kondisi ideal sesuai tuntutan peran yang akan saya mainkan bareng Penelope Cruz.
13610113401127466699
Jalan utama gerbang timur selatan
Melangkahkan kaki pagi hari di sini sangat eksotik.  Oksigen murni bebas kita hirup.  Sejauh mata memandang hanya warna hijau yang tampak.  Bener-bener hijau.  Mungkin ini yang menginspirasi, hingga muncul sebutan Apel Malang untuk mengidentikannya dengan rupiah.
Setiap jam enam pagi , setiap saya melangkah memasuki pintu gerbang, setiap kali itu pula saya selalu melihat petugas kebersihan merampungkan rutinitasnya.  Taruhan, anda tak akan menemukan sampah berceceran di sini.  Hatta daun sekalipun.  Untuk menampung aspirasi sampah pengunjung, petugas telah menyediakan 15 buah tong sampah beton berdiameter 50 cm.  Semuanya seragam.  Warna kuning.  Entah siapa sponsornya.  Mengelilingi jalan protokol beraspal Rampal Stadium dengan jarak yang sama.   Serba teratur, khas tentara!
13610115132090021638
Pohonan tinggi menambah kesan hijau lapangan
Jalan beraspal yang halus bagai karpet sangat memanjakan pejalan kaki.  Lebar 15 meter adalah jaminan tak kan ada tabrakan antar pejalan kaki.  Kita bisa menghitung berapa kilo sudah kita melangkah.  Indikator jarak terukir di pinggir lapangan setiap 10 meter, membantu kita berhitung berapa kalori sudah terbakar.  Tapi peduli amat pada kalori, karbo dan sebangsanya.  Pikiran itu akan terlupakan dengan suguhan pepohonan tinggi di sebelah lapangan.  Pohon-pohon yang tampak bijaksana saking tuanya, berderet rapi, mengepakkan rantingnya, melindungi terobosan sinar mentari, juga tembakan rintik hujan.  Malang identik dengan hujan.  Jadi kalau anda beruntung anda akan melihat landscape biru, badan gunung Arjuno dan Panderman disebelah barat dan utara Lapangan.  Jangan lupakan kamera untuk mengabadikan momen yang belum tentu kita jumpai setiap paginya.
Sebagai pusat kebugaran rakyat, Rampal melengkapi dirinya dengan banyak fasilitas.  Bagi anda yang ingin berbody Ade Rai, tak perlu khawatir.  Sederet tools untuk body building tersedia lengkap dan cukup.  Perut Ramping?  Tinggal sit up saja dengan alat bantu di dekat pintu gerbang.  Pull Up?  Tinggal loncat saja kalo sampe di tiang-tang besi yang berjajar rapi.  Otot kaki tegang?  Pijat aja dengan deretan batu beragam rupa yang berderet bak gigi ketimun.  Ingin uji ketahanan jantung?  Jogging track yang teduh, sejuk dan penuh aneka bunga menemani putaran nadi.
13610116681866958977
Jogging Track bak taman surgawi (emang pernah ke sana?)
Bagi penghobi olahraga mainan, tersedia banyak pilihan.  Dua lapangan tenis lapangan, dua lapangan bola utama, 5 lapangan bola ukuran sedang, dua lapangan basket, lapangan voli, bulutangkis.  Sarana jitu untuk mencari kawan baru.
Bagi yang hobi berkebun, tak perlu resah.  Di sisi barat lapangan rampal, di atas lahan yang dulunya kosong, terhampar tanaman jagung dan ketela, cabe, tomat dan temannya bayam.  Benar-benar multitasking.  Buat olahraga juga berkebun.  Tanaman penguat struktur tanah juga tak ketinggalan berkontribusi.  Deretan pohon trembesi merindangi pinggir lapangan.  Sejuk dan hijau.  Tanaman buah melengkapi kesempurnaan harmoni.  Pohon mangga, jambu biji dan air seolah tak rela satu centi pun lapangan Rampal kosong tiada guna.
13610118231772985072
Kebun singkong tunggu panen.., mana tahan…!
Apalagi yang hobinya upacara.  Rampal adalah surganya.  Tiap tanggal 17 setiap bulannya, para tentara berupacara.  Campur dengan pegawai sipilnya.  Namun sayang tak semua tentara hobi upacara.  Nampak dari komitmen sebagian diantara mereka yang terlambat menyambut seruan komandan upacara.  Sebagian berjalan tergesa, sebagian setengah berlari menuju barisan, sebagian lagi pasrah merasa tak akan sampai.  Maka alternatifnya adalah bikin barisan sendiri di kanan kiri mobil yang diparkir di ujung utara.  Entah kedispilinan yang mulai luntur atau karena memang tak pernah ada lawan yang akan membuatnya selalu waspada.  Seandainya saja masih ada Provinsi Timor Timur…
Kembali ke laptop kawan…,
1361011931426495916
Piranti pendadaran tentara
Saya berani bertaruh, jogging track yang mengitari lapangan utara, akan meninabobokkan anda, para pencari keringat, untuk terus berputar dan berjalan.  Pohon ganyong yang berdaun lebar, dengan bunga kuning dan orange, selalu berada di kanan kiri pe-walker.  Napas yang seharusnya berhenti untuk diisi, seolah menemukan tenaganya kembali.  Otot yang biasanya kejang di awal perjalanan, tak terasakan lagi, berganti dengan perasaan lega dan nyaman diteduhi pohon trembesi.
Sepanjang langkah, pejalan kaki disuguhi dengan peralatan latihan militer.  Ada kolam dengan tali yang terjuntai, melatih para tentara untuk tidak kalah dengan tarzan.  Balok kayu bersusun tiga, melatih tentara untuk tidak kalah dengan Usain Bolt, pelari sprint dunia.  Patok kayu setengah meteran yang terhubung satu sama lain dengan kawat berduri, melatih tentara untuk lihai merayap.  Pokoknya semua alat untuk melatih kelincahan dan fisik tentara ada di sini.  Namun sayang.  Balok-balok itu kalah dengan rintik gerimis dan titik hujan.  Mulai lapuk di sana-sini.  Andai pertandingan macam ninja warrior kayak di TV itu digelar di sini, Rampal sudah pasti makin mendunia.   Apalagi ditunjang dengan keberadaan deretan warung kuliner yang berbaris  di luar lapangan.  Setia menunggu pembeli.
1361014447452450889
Setia hingga akhir, menunggu pembeli
Lapar ?  Tinggal lompat pagar.  Haus tinggal julurkan tangan.  Sebotol susu kedelai panas-panas akan menyambut anda.  Penjual minum asong sudah begitu paham hukum ekonomi.  Dalam waktu tak sampai 2 kali pemilu lagi, Rampal akan dipenuhi pedagang kaki lima.  Tantangan buat Kodim 0833 selaku pengelola.
Singkat kata, keringat yang menetes berbanding lurus dengan lemak yang tergelontor.  Bila anda kitari 3 kali saja, itu setara dengan 4 kilometer telah anda lalui.  Berapa kalori yang telah terbakar?  Tidak perlu aplikasi Go Pedometer untuk menghitungnya.  4 Kilo setara dengan 40 menit untuk the walker macam saya.  Maka bila per menitnya terbakar 5,5 kalori, ha…ha..per minggunya saya turun dua kilo. Wow……!  Mau?
Empat hari seminggunya saya selalu putari Rampal.  Aktivitas ini sudah berjalan 2,5 bulan.  Maka berkilo-kilo pulalah lemak saya hilang.  Tiga bulan lalu saya timbang 89 kilo.  Dan sekarang saatnya nimbang.  Syukurlah …Alloh kabulkan usaha keras saya.
Bobot saya sekarang 92 kilo!
Lho?  Itu pasti gara-gara Pak Koswara.  Lelaki sunda yang telah merantau seantero nusantara adalah biang keladinya. Cukup mudah menemukan Pak Koswara di Rampal ini.  Tempat nongkrongnya tepat di depan gerbang timur selatan.  Setiap the walker pasti melewatinya.  Karena ia adalah penjual tahu dan tempe goreng terenak yang pernah saya temui.  Bukan cuma di Malang, tapi juga di Jawa Timur.
Dialah alasan logis satu-satunya.  Karena setiap tetes keringat yang saya keluarkan, berganti dengan lima tetes minyak tahu dan tempe yang saya masukkan.
Ingin gemuk?  Ayo ke Rampal!
13610145821230869260
Insya Alloh kembali lagi
Note:  Semua foto adalah dokumen pribadi.

Sumber: http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/02/16/ingin-gemuk-rampal-tempatnya-534773.html

Mengapa Tema ‘Politik’ Lebih Diminati

Coba anda cermati tampilan Home Kompasiana.  Arahkan pandangan anda pada kolom Tulisan Terbaru, HighLight atau pun Trending Article.  Tulisan dengan tema apa yang paling mendominasi?  Yuups.., anda benar!  Politik..!  Oleh karena itu jangan kemana-mana, tetaplah di Kompasiana, karena saya akan menuliskan alasan-alasan kenapa tema politik digemari kompasioner.
Berikut hasil investigatif ngawur saya yang cenderung memihak dan tendensius:
1. Selalu uptodate!
Tema politik tak pernah ada matinye. Tak kenal musim hujan dan kemarau. Tak peduli musim durian atau tembakau. Sumber ide tentu dari headline media. Bandingkan bila anda harus menulis dengan tema lain. Maka kompasioner pun bergairah, panas membara, karena selalu duduk pada media yang menjadi kompornya. Tema yang berbanding lurus dengan semua kanal media baik cetak atau elektronik semakin memancing keingintahuan pembaca untuk mendalami suatu kasus tertentu. Kompasioner pun dengan cerdik membungkus, analisis-analisis yang biasanya bersumber dari pengulangan ulasan para pengamat politik dengan judul-judul yang bombastis, memancing kompasioner lainnya untuk mengkliknya. Lihat saja ketika kasus PKS muncul, bisa dibilang tema-tema yang lain langsung tenggelam kalah cepat juga kalah jumlah. Efek positifnya, kompasioner yang mulai jenuh dengan tema politik mulai mengarahkan mousenya ke tema-tema yang sepi peminat dan berat.
2. Budaya Ngrumpi
Budaya ini diklaim sebagai budaya perempuan Indonesia. Tapi bila anda jeli, penulis tema politik didominasi kaum adam. Adam yang sesungguhnya. Bukan Adam Inul. Apakah ini pertanda bahwa sebenarnya budaya ngrumpi adalah budaya universal? Tidak terbatas pada gender tertentu? Atau barangkali pengaruh metroseksual, sehingga para pria jaman sekarang bukan hanya pesolek tapi juga perumpi? Lebih jauh lagi, coba anda klik tulisan dengan komentar terbanyak. Maka para komentator itu , sebagian besar diantaranya adalah lelaki. Pas dengan tagline coklat kesukaan anak saya: Panjaaaaaang dan laaaaaamaaaa…itulah Laki-laki!
3. Motif Ekonomi
Bagi profesional, pergerakan tema politik menjadi ladang ekonomi yang menggiurkan. Pengamat politik muda saling bergantian menghiasi kaca depan televisi anda. Selain terkenal (investasi politik yang sangat penting di masa depan) juga amplopnya kenyal. Perlu proses panjang bagi mereka untuk bisa tampil dan memberikan pendapatnya. Pengamat yang paling sering diundang, tentu saja pengamat yang bisa melahirkan komentar yang benar-benar beda. Unik. Orisinil. Dan kalo perlu sedikit kontroversial. Mereka telah menginvestasikan ribuan jam tidur mereka dengan melek’an membuka lembar-demi lembar teori politik, histori kelompok ataupun perorangan, memikirkannya hingga lupa mandi, merenungkannya hingga tak gosok gigi, lalu menuliskannya. Ya tulisan adalah prasasti abadi pemikiran. Maka seorang pemimpin akan dikenang sepanjang masa bila mampu meninggalkan jejak pikirannya dalam bentuk tulisan.
4. Politik Kepentingan
Media adalah alat yang paling ampuh untuk merebut hati rakyat. Sudah sejak jaman romawi patron ini dipahami. Inilah mungkin alasan yang paling masuk akal kenapa Hari Tanoe, selepas keluar dari Nasdem, diperebutkan banyak pihak. Bagi yang memiliki keterbatasan modal mengakses media, apalagi media elektronik, maka media gratisan macam kompasiana adalah surga. Kurang 14 bulan lagi helatan akbar lima tahunan digelar. Maka perang pun dimulai. Dari yang sekedar promosi ataupun pencitraan , hingga black campaign menghiasi setiap tema politik yang dibahas. Pikirnya, kalo gak sekarang kapan lagi? Mumpung gratis…
5. Serangan Balik
Bagi lawan politik, setiap tulisan yang menjerumuskan atau menyerang parpolnya adalah tantangan. Loe jual, Gue Beli. Maka pembelaan silih berganti dari pihak yang pro dan kontra selalu terbit setiap menitnya. Akibatnya tema-tema politik terjebak dalam arus berbalas pantun. Pembaca pun disuguhi tema politik membela diri. Ada semacam hak jawab yang harus ditunaikan, bila suatu tulisan memuat hal yang miring tentang partainya.
Saya tidak skeptis ataupun pesimis. Dari kelima alasan itu, ada satu yang membuat saya tetap optimis. Gairah penulis politikkompasioner.
Mudah-mudahan kelak, saat saya menonton tivi ada pengamat yang memperkenalkan dirinya, saya pemerhati politik dan saya adalah…..Kompasioner!

Sumber: http://politik.kompasiana.com/2013/02/12/mengapa-tema-politik-lebih-diminati-kompasioner-533532.html

Idiopatic Trombositopenia Pupura

Mestinya bukan begitu penulisannya, tapi begitu cara bacanya.  Orang bahkan sering menyingkatnya hanya dengan ITP.   Bagi awam kayak saya, I adalah Idiopatic, artinya tak diketahui penyebabnya, Trombitopenia ya ada kaitannya dengan trombosit tentunya, sering diterjemahkan sebagai kondisi dimana trombosit dalam keadaan minimalis.  Pada orang yang normal, trombosit berada dalam rentang 150.000 sampai 350.000 per mikroliter.  Pada penderita ITP jumlah trombosit kurang dari 15.000 per mikroliter.  Jangan percaya kalo saya katakan trombosit saya saat itu cuma 1.000 per mikroliter.  Saya sendiri juga gak percaya.  Tapi begitulah dokter bilang, sambil menepuk-nepuk pundak dengan tak lupa membesarkan hati, “Banyak-banyak berdoa ya diik..”  Nah terakhir P adalah Pupura, artinya bintik atau bercak kebiruan kayak luka memar habis dipukul.
******
Hari itu, Rabu 26 Desember 2007 adalah hari yang mengherankan sekaligus istimewa.  Di ruangan poli spesialis kulit sebuah rumah sakit umum milik pemerintah , tempat di mana saya mengeluhkan munculnya bintik hitam yang muncul di lengan dan lidah, tersaji sebuah pergumulan yang tidak seimbang.  Seharusnya satu pasien, duduk berhadapan dengan satu orang spesialis kulit.  Begitulah yang ada dalam bayangan saya.  Satu lawan satu, dokter dan pasien.  Tapi yang tak terduga adalah rombongan co-ass nya.  Lebih dari 12 dokter-dokter muda itu mengepung saya.  Berebut hendak melihat lengan, memegangnya bahkan meminta saya membuka rongga mulut untuk membuktikan kebenaran kabar tentang adanya bintik hitam di lidah dan gusi saya.
Risih juga menerima perlakukan tak terduga macam itu.  Lha wong bukan selebritis kok dirubungi.  Macam gula saja dikerubuti semut.  Tapi yah apa boleh buat.  Saya kan cuma seorang pasien.  Dari sudut pandang manapun seorang pasien selalu diposisikan sebagai objek.  Dan selama 15 menit dikeroyok bercampur dengan ‘intimidasi medis standar’ seperti : sejak kapan menderita, riwayat keluarga, penyakit turunan, keluhan fisik,  pendarahan, aktivitas harian, pola makan dan gaya hidup de el el, hasilnya adalah selembar kertas yang berisi coretan untuk merujuk saya ke ahli planologi, eh patologi klinis.  Itu lho bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh.  Alamaak, batin saya berteriak.  Habis dari patologi klinik kira-kira mau dirujuk ke mana lagi ya?  Mudah-mudahan bukan kamar jenazah!
Pikiran saya patut berontak.  Kali pertama saya datang memang bukan di poli spesialis kulit.  Tapi Poli Gigi.  Itu berkaitan erat dengan perdarahan yang keluar dari sela-sela gigi.  Tidak terlalu mengucur sih, namun tetap saja mengganggu.  Karena ia menggumpal kayak sisa makanan yang nyangkut di gigi.  Bila gumpalan ini dibersihkan, darahpun kembali mengucur.  Dokter bilang ada salah satu gigi saya yang patut dijadikan tersangka.  Karena ada dua alat bukti yang cukup kuat untuk menetapkan gigi tersebut sebagai tersangka.  Pertama, karena disitulah darah berasal.  Kedua, gigi tersebut goyang, tidak menancap kuat kayak tetangganya.
Saya sudah bersiap membuka mulut dan dokterpun sudah menyiapkan catut dan pencongkel gigi.  Macam tahanan di kamp penyiksaan, dokter sudah menyentuhkan catutnya.  Ada perasaan tak enak saat itu.  Saya pun minta penangguhan pencabutan.  Kuperlihatkan lidahku.  Bintik hitam itu ternyata membuat dokter mengurungkan niat eksekusinya, dan tanpa kuminta ia pun merujukku ke poli kulit.
Ternyata nasib adalah pikiran itu sendiri.  Apa yang kita pikirkan maka itulah nasib kita.  Dokter spesialis patologi klinik pun pada akhirnya meminta saya datang esok, setelah sebelumnya membuat catatan beberapa tes yang harus saya lalui di laboratorium.  “Jangan ke sini tanpa hasil tes “, pintanya tegas.
******
Malam belum larut, dan hati galau juga tak surut.  Semakin petang, bukan cuma bintik yang bertambah.  Namun frekuensi pendarahan juga semakin sering.  Istri berinisiatif membawaku ke dokter umum.  Dokter askesku.  Hanya sekilas dia melihat lengan dan lidah, memandangku dengan agak cemas.  Menuliskan sesuatu.  Lalu berkata, “Bapak terindikasi ITP.  Ini rujukannya.  Pergilah ke Poli spesialis dalam.  Jangan ditunda.  Pendarahan bapak sudah parah..”.
Saya bersyukur.  Sangat bersyukur.  Orang mungkin heran.  Lha wong dikasih sakit masih sempat-sempatnya bersyukur.
Saya patut bersyukur.  Tuhan telah mengirim seorang dokter umum untuk saya.  Yang dengan penjelasannya telah menenangkan saya.  Yang dengan diagnosa singkatnya telah mempercepat perawatan medis saya.
Dan lagi-lagi saya wajib bersyukur.  Yang dengan skenarionya Tuhan telah menyelamatkan gigi saya.

Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/02/12/idiopatic-trombositopenia-pupura-indah-di-dengar-tak-indah-di-rasa-533492.html

Selasa, 05 Februari 2013

Eksotisme di Tengah Ketidakpedulian: Ironi Candi Pari

1360070397745446979
Plang satu-satunya di dunia ttg Candi Pari (dok:pribadi)
Kayaknya media punya jalinan asmara yang sama. Seluruh kanal dibanjiri dengan hujatan dan koring (komen miring) pada sapi. Kasihan binatang satu ini. Terpaksa menanggung beban kambing. Yang biasanya menjadi andalan orang-orang ketika suatu target tak tercapai, ketika suatu rencana tak menjadi fakta. Maka kambing hitam pun hilang. Berubah menjadi sapi hitam.
Lupakan sejenak tentang sapi, maka minggu pagi kemarin menjadi pelampiasan. Nggowes yang kami rencanakan sehari sebelumnya menjadi momen-momen indah menghilangkan bosan dengan aneka kebencian dan hujatan. Tujuan kami saat itu cuma satu: Candi Pari. Situs Purbakala yang tak pernah kami duga, ternyata hanya berjarak tak lebih dari belasan kilometer saja. Bener tak pernah kami duga, kalo Sidoarjo yang telah kami tetapkan sebagai tempat tinggal kami, menyimpan sejuta cerita, mengabadikan begitu banyak legenda, dan menjadi saksi peradaban beratus tahun sebelum kelahiran nenek saya.
Maka perpancalan pun dimulai. Tepat jam 5.45 WIB episode sejarah nenek moyang pun mulai kami koyak. Keingintahuan Fatah, anak kedua , yang kebetulan hari itu menemani saya, sangat besar. Sebesar keheranan dan ketidaktahuannya kalo ternyata Sidoarjo memiliki situs candi. Disayangkan memang di usia 14 tahunnya, anak SMPIT Dafi tak tahu menahu tentang histori Sidoarjo. Wujud ketidakberhasilan Pemkab Sidoarjo (via Dinas Pariwisata tentunya) mensosialisasikan kekayaan wisata daerah sendiri. Hmm…
Kami mengambil jalur memutar. Melewati mbulak, jalan beraspal sempit yang kanan-kirinya menghijau, berhiaskan padi belia. Tumbuh subur tanpa diiringi kekhawatiran diterjang aliran liar lumpur lapindo. Sepasang petani suami istri mempertontonkan kolaborasi yang romantis. Si Laki mendorong sapi bermesin dengan sekuat tenaga. Perempuannya membungkuk sembari menusukkan tanaman padi belia. Orang-orang menyebutnya ‘tandur’. Noto Mundur. Bertanam sambil mundur. Filsafah kepemimpinan yang hakiki. Karena keberhasilan seorang pemimpin bukanlah dihitung dari lamanya menjabat, tapi keikhlasan untuk mundur setelah meninggalkan karya yang nyata. Setelah menciptakan genarasi penerus yang ia yakin bermanfaat. Sinar mentari meski masih berhemat seolah takut kehabisan stok, telah mampu memompa butiran air di wajah keduanya. Peluh sudah pasti membanjiri pipi, leher, dada dan ketiak yang terseka otomatis dengan kain lusuh yang membalut tubuh mereka. Sungguh keringat mereka adalah keringat kualitas satu. Tidak sama dengan keringat yang saya cucurkan. Karena keringatku lahir dari niat untuk menghilangkan gelonggong lemak yang mengitari pinggang dan paha. Sedangkan mereka lahir dari niat yang tulus untuk memberi penghidupan anak turunnya. Keberkahan luar biasa yang menjauhkan mereka dari sakit dan ketidakberdayaan.
Bagi awam yang pernah ke Borobudur, Prambanan, dan candi-candi sekitarnya, Candi Pari mungkin tidak begitu istimewa.  Susunan batu alam yang kokoh yang membentuk tubuh candi Borobudur dan kawan-kawan tak dapat dibandingkan keangkuhannya dengan tumpukan batubata merah yang membody Candi Pari.  Hamparan luas dan panorama view yang membalut Borobudur dan Prambanan jauh lebih eksotik dibanding dataran rendah seluas 13,55 x 13,44 meter bujursangkar yang mengurung Candi Pari.  Borobudur setinggi 34,5 meter tentunya lebih jangkung dibanding 13,8 m tinggi Candi Pari.  Apalagi soal aksesorisnya.  Dengan koleksi 1460 relief , 504 arca dan 72 stupa, Borobudur ibarat Goliath. Pada lokasi candi Pari hanya ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesha dan 3 arca Budha.  Itupun semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta.  Jangan juga bertanya tentang perhatian pemerintah daerah setempat.  Banyaknya lumut yang menutup permukaan candi, pagar kawat berduri ala kowboy, serta jam buka yang tak tentu semakin meneguhkan sikap tak acuh pemda Sidoarjo.
Lantas apanya yang menarik?
Langsung saja saya bocorkan.  Keunikannya mas Bro dan Mbak Sis.
Tidak seperti candi-candi di tanah Jawa, Candi Pari lebih mirip tugu raksasa.  Pengaruh Campa sangat kental pada fisik candi.  Tambun dan kokoh.  Sekilas mirip dengan Candi Muara Takus di Jambi.  Dengan dominasi batu bata merah yang melilit badannya, melahirkan begitu banyak kekaguman dan pertanyaan.  Bagaimana merekatkan bata satu dengan lainnya?  Tanpa melibatkan semen apalagi besi untuk menopang tegaknya tubuh candi.
Kesan mistis langsung terasa begitu kita masuk  ke dalam bilik candi.  Ruangan persegi seluas 5 x 5 m2 tampak lengang.  Tampak bekas sajen bertaburan bunga yang layu merapat di dinding Timur.  Berlawanan dengan arah pintu masuk.  Beberapa patung kecil tak berkepala semakin menambah kesan seram.  Meski disiang hari sekalipun.  Ruangan bilik candi begitu terang pada pagi itu.  Lubang ventilasi yang mengelilingi candi mengalirkan udara sekaligus cahaya.  Kesan pengap pun sirna.
13600705511033097107
Puncak Candi Pari (Sumber: dokumen pribadi)
Tidak mudah untuk menemukan Candi Pari.  Tak ada papan nama sama sekali.  Gosipnya sih dulu di pertigaan tugu kuning dipasang plang yang mengarahkan pengunjung ke lokasi candi.  Tugu Kuning?  Ya semacam tugu untuk mengingat perjuangan Marsinah, buruh pabrik jam yang meninggal karena mempertahankan hak kaum buruh saat itu.  Pabriknya sendiri sudah musnah ditelan lumpur.  Tapi tugunya tetap berdiri kokoh seolah menantang lumpur lapindo untuk menenggelamkannya.
Tugu kuning sendiri tidak kami lalui.  Sensasi nggowes dengan jalurnya yang menantang memaksa kami membuat jalurnya sendiri.  Tidak terlalu ekstrim sih, namun memaksa kami untuk bertanya setiap kali dihadapkan pada dua pilihan jalan yang bercabang.
“Nderek tanglet Pak/Bu/Mas, Menawi badhe teng Candi Pari medal pundi nggih?”
(Numpang nanya pak/bu/mas, jalan ke candi pari lewat mana ya?).

1360070650530689958
Lumut memenuhi lantai sisi utara Candi Pari, Indah memang, namun menghancurkan..(Sumber: dokumen pribadi)
Tak perlu khawatir jawaban : Tak tahu mas….   Semua orang di area candi:Tanggulangin, Pamotan, Porong dan Candi Pari sendiri seolah terlahir sebagai guide yang baik.  Maka sensasi beriringan di pematang sawah, menerobos terowongan di sebelah sungai, serta menembus jalan di atas tol menghilangkan rasa pegal yang menyerbu otot kala pertama kali mancal.
Tak perlu bawa air minum cadangan.  Hukum ekonomi telah menyediakannya.  Sekitar candi ada penjual minuman, meski tak terlalu banyak.  Namun jangan harap bisa masuk areal candi tanpa perjanjian lebih dahulu.  Akibat terlalu percaya diri, kami harus menunggu 2 jam lamanya menunggu penjaga candi datang.  Kalaupun kami akhirnya berhasil masuk lokasi candi, bukan karena penjaganya datang, tapi karena penjual warung depan candi kasihan melihat kami yang kelamaan menunggu.  Sehingga tanpa diminta ia keluarkan dari kantongnya kunci untuk membuka selot pagar.  Ya ampun pak…, kok gak dari tadi sih..?
Awalnya saya menyangsikan kekuatan injak trap/anak tangga candi.  Batu bata bro?  Kuat nggak ya menopang 90 kg jasad ini?  Maka dengan hati-hati kulangkahkan kaki menuju pintu bilik utama.  Tak seperti candi di Jawa , anak tangga menuju pintu bilik candi tidak dalam satu garis lurus.   Tapi terbagi dua kiri dan kanan candi.  Persis panggung ketoprak , harus naik dari sisi kiri atau kanannya.  Semuanya batu bata.  Kecuali trap yang mengarah ke pintu bilik candi.  Sangat curam.  Perlu tenaga ekstra untuk melewatinya.
1360070856616696105
Sisi Selatan Candi Pari tak jauh beda dengan sisi utara , penuh hamparan hijau lumut (sumber : dokumen pribadi)


13600710041355253882
Sudut Tenggara Candi…, seandainya tumpukan batu bata itu masih utuh…(sumber : dokumen pribadi)

1360071121442544163
Sudut tenggara yang cantik, ada yang ingin bikin prewedding photo? (sumber: dokumen pribadi)
Meski beberapa kali direnovasi , terakhir diresmikan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika 1 Mei 2001, namun lumut tumbuh dengan nyamannya di setiap sisi candi.  Jangan salah, menurut penuturan penjual minuman yang membukan pintu candi, lumut ternyata hanya tumbuh pada batu bata hasil renovasi.  Batu bata asli buatan tahun 1371 masehi yang mendominasi dinding candi, tidak kena lumut sama sekali.  Mungkin pada tahun-tahun itu, tahun di mana Om Gajah Mada masih segar bugar, belum dikenal makelar proyek.  Belum ada fee atau komisi untuk kuota produksi batubata.  Belum ada gratifikasi…
13600712222046286705
Taman depan pintu bilik candi, lengkap dengan dua sejoli, sepeda cantik (sumber: dokumen pribadi)
Maka perpancalan ke Candi Pari Minggu itu, memberikan banyak pencerahan.  Ternyata nenek moyang kita adalah pembangun peradaban yang jenius.  Peradaban yang membuat bangga anak turunnya.  Peradaban yang membuat kita optimis bahwa korupsi bukanlah budaya asli milik sendiri.

Senin, 28 Januari 2013

Trust Me, It's work! Teruslah menulis dan menulis...

"Dulu saya menulis puluhan artikel di blog.  Dan tak satupun yang membacanya.  Setelah berubah menjadi kompasioner, tulisan saya terbaca ratusan kali dalam hitungan jam.  Terima kasih kompasiana..."


Tulislah selagi hangat di kepala.  Karena ketikan keyboardmu akan mengalirkan jiwa dan menghadirkan hati bagi segenap pembacamu.  Meskipun tidak sama persis, kalimat inspiratif ini beruntung aku temui di kolom Ellen Maringka, kompasioner yang ibu rumah tangga.

Kompasioner, begitu kompasiana menyebutnya untuk orang-orang yang rela membagi waktunya untuk menulis di blog kompasiana adalah ajang bagi penulis pemula atau sebut saja amatirlah untuk menulis apa saja.  Tak perlu malu, tak usahh ragu.  Tulislah tanpa perlu takut menabrak rambu-rambu kaidah penulisan, yang kadang bila kita ikuti justru membuat pembaca bosan.

Dan resep itu ternyata manjur bagi amatiran kayak saya.  Masih belasan memang artikel yang kubuat.  Setiap kali selesai mengklik 'publish' maka saat itulah dimulai penantian panjang untuk sekedar menantikan seseorang yang kesasar dan mau berkomentar.  Besarnya varian antara harapan dikomentari dan kenyataan tak ada yang mampir, kadang melemahkan semangat pembelajaran untuk menulis.  Bayangkan untuk satu artikel, sampai berminggu bahkan berbulan tak ada koment yang berjatuhan.  Sisi baiknya tentu saya akan terpacu lebih baik lagi untuk menyajikan tulisan dari sudut pandang yang unik.  Yang bahkan sekaliber Dahlan Iskan saja tak pernah mengabadikannya.  Namun apa iya sudut pandang yang saya bidik tak memiliki kekhasan sendiri?

Iseng menelusuri belantara maya, akhirnya berlabuh juga di Kompasiana.  Sebagai test case, saya pindahkan artikel yang berhari-hari tak jua divisitori.  Ajaib, ramuan Houdini bekerja!  Dalam tempo 10 jam , artikel yang selama ini dianggurkan, ternyata telah dibaca oleh 177 orang dengan meninggalkan 2 komentar.  Tidak termasuk komentar pribadi.

Maka nafsu menulis saya pun kembali bergairah.  Kompasiana benar-benar bekerja.

Trust Me!

It's work!

Sabtu, 26 Januari 2013

Hamba Alloh Haram Nyumbang Partai

Menyongsong helatan akbar Pemilu 2014, KPU mulai unjuk gigi.  Draf Peraturan KPU tentang pengaturan dana kampanye partai politik sudah diselesaikan.  Nama penyumbang parpol harus jelas, tak pakai anonim.  Seperti yang sudah-sudah, banyak parpol mensiasati donatur gedhe dengan memecahnya menjadi ratusan hamba Alloh dengan donasi kecil. 

Maka persaingan pun tak fair.  Parpol besar dengan mudahnya menggelontorkan milyaran rupiah untuk menggerakkan mesin pendulang suara.  Parpol kecil hanya bisa gigit jari.

Tidak cukup sekedar melarang, KPU bahkan mewajibkan penyumbang di atas Rp. 30 juta untuk mencantumkan NPWP nya.  Agak berlebihan memang KPU kali ini.  Tapi harus diakui, inilah jalan terbaik untuk democracy fair play sekaligus memastikan bahwa dana parpol berasal dari sumber yang halal.  Bukan komisi macam Hambalang dan Wisma atlet.

Tapi kenapa hanya untuk yang Rp.30 juta ke atas saja yang diwajibkan melampirkan NPWP?  Kenapa tidak dibikin lebih luas lagi, misalnya Rp.1 juta ke atas?  Klausul Rp. 30 jt pakai NPWP pada akhirnya akan menjadi pintu masuk untuk akal-akalan parpol.  Sangat mudah bagi parpol untuk mencari orang yang bersedia dicatut namanya sebagai penyumbang.  Resmi atau pun tak resmi.  Setahu orangnya atau diluar sepengetahuannya.  Lha wong saat verifikasi dulu, betapa banyak orang yang tak tahu menahu kalau KTP nya dipinjam sebagai bukti dukungan ?

Maka parpol pun akan berhitung.  Setiap orang dianggap menyumbang Rp. 29 juta.  Cukup cari KTP saja.  Tak perlu NPWP.  Untuk merasionalisasi dana Rp. 10 M saja, cukup dengan 400 KTP!  Sangat mudah dan gampang bagi parpol.

Itu untuk dana yang diniatkan tercatat dalam pembukuan resmi Parpol.  Bagaimana dengan pengeluaran yang tidak melalui parpol?  Sudah jamak bagi calon legislatif untuk membiayai dirinya sendiri.  Mensosialisasikan dirinya dan bersaing dengan caleg lainnya dalam parpol yang sama.  Mempopulerkan dirinya sendiri secara otomatis juga mempopulerkan parpol yang bersangkutan.  Karena pemilu kita bukan memilih parpol, tapi mencoblos orang.  Maka akan sulit memisahkan mana dana parpol dan mana dana caleg.  Maka akan lebih mudah bagi parpol untuk mengeluarkan uang melalui individu si Caleg.  Toh yang akan diaudit nantinya adalah dana parpol, bukan dana Caleg.

Maka meski KPU sudah beritikad baik dengan menerbitkan draft tentang pengaturan dana kampanye partai politik, namun kenyataan di lapangan tidak akan jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya.  Partai besar dengan mudahnya mengambil ruang publik untuk mengenalkan visi dan janji-janjinya.  Partai kecil sebagaimana lazimnya hanya gigit kaki.

Bagaimanapun sekedar niat baik saja tak cukup untuk membenahi ketimpangan demokrasi negeri ini.  Perlu komitmen pimpinan semua parpol untuk mentaati aturan main.  Sehingga kemenangan yang nantinya diraih adalah kemenangan yang bersih tanpa ada upaya untuk memanipulasi data dan dana.

Mungkinkah?

Mimpi kali ya...

Sabtu, 19 Januari 2013

Executive Lounge Embarkasi Surabaya (Serpihan haji 2012 Eps 4)



Seumur-umur baru kali ini perjalanan diiringi sirine pengawalan polisi.  Bayangan jalan macet pupus sudah.  Dua voreinder didepan kami bagaikan kapal pemecah es, yang menyibakkan jalan bagi kapal utama.  Mudah-mudahan saja pengendara jalan yang terganggu dengan rombongan kami tidak mencak-mencak dan mengirim doa umpatan buat kami para jamaah haji, yang memang tidak minta diperlakukan secara khusus bak pejabat negeri ini kala berkunjung ke suatu daerah.
Perjalanan kami sibukkan dengan barter cerita.  Banyak sekali pengalaman hidup yang kuperoleh dari teman sebelah.  Namanya Mangesti Waluyo Sejati.  Beliau adalah pimpinan KBIH tempat saya bergabung, dan pada musim haji 2012 ini berkenan mendampingi kami langsung.  KBIH yang beliau dirikan bukanlah tempat sandaran hidupnya.  Secara materi sudah dicukupkan dari perusahaan pengolahan hasil laut yang berorientasi ekspor, yang menggelinding dengan sendirinya tanpa ada lagi campur tangannya.  Semua sudah dipercayakan kepada manajer yang profesional.  Fokusnya cuma satu.  Melayani jamaah dan mengantarnya menjadi Haji yang mabrur (Insya Alloh).
Perbincangan yang menarik ini akhirnya harus terhenti.  Bis melambatkan lajunya dan mulai berhenti.  Kulihat bis yang lainnya takjauh beda.  Kanan kiri kami lahan bekas sawah yang mengering.  Ada beberapa kotak warna-warna di kanan jalan.  Seukuran pos jaga tentara yang berisi satu prajurit saja besarnya.  Tak ada pemberitahuan dari petugas haji: Kita sudah berada di mana, mau apa, dan berapa lama.  Semua dibiarkan saja.  Semua sudah paham.  Jamaah pun kembali ikhlas.
Karena sudah masuk waktu dzuhur beberapa jamaah berinisiatif keluar dan menuju pos jaga warna-warni.  Oh rupanya kamar kecil berbahan fiberglass yang disediakan khusus bagi tamu Alloh ini.  Disebelah luarnya nya ada satu kran untuk setiap kotak WC itu.
Oh rupanya buat ambil air wudhu!  Lalu masjidnya mannnnaa...?  Oh luar biasa.  Inilah masjid yang sebenarnya.  Beratapkan langit biru, beralaskan rumput kering dan bermandikan sinar cahaya mentari.  Menyengat memang.  Ya itung-itung sekalian latihan.  Kan cuaca di tanah suci lebih panas.  Kami pun mencoba belajar ikhlas lebih khusuk lagi.
Prosedur yang kami tempuh untuk sholat memakan waktu lama.  Kami tak pernah menduga akan sholat di rerumputan kayak gini.  Petugas di asrama pun tak pernah sekalipun ngasih tahu.  Satu kotak WC untuk satu bus.  Setiap jamaah cenderung berasyik masyuk di WC sebelum keluar untuk mengambil air wudhu disebelahnya.  Tak ada tempat wudhu khusus untuk perempuan.
Maka proses antre pun di mulai.  Di siang bolong, ditengah terik bakaran matahari.
Meski warna-warna di luar, kami tetap harus berhati-hati kala menapakkan kaki di dalam WC.  Kekhawatiran tersentuh najis orang yang sebelum kami membuat kami ekstra waspada.  Jamaah wanita yang tak telaten berwudhu di dalam kotak ajaib itu banyak yang berwudhu di luar.  Disaksikan puluhan mata lelaki yang bukan muhrimnya.  Darurat katanya.
Tak adanya kejelasan berapa lama kami harus terlantar dan dengan pertimbangan sholat di pesawat tak senyaman bila sholat di tanah lapang, akhirnya turun juga saya ikut mengantre.  Syukurlah masih kebagian sholat berjamaah.
Namun masalah tak berhenti dengan diucapkannya salam ke kanan dan ke kiri.  Istriku masih terkatung-katung di bis.  Ia bersikeras untuk tak mau meniru, berwudhu di tempat terbuka kayak gitu.  Alhasil dengan rayuan kutawarkan ia untuk berwudhu di kotak pandora warna-warni yang paling jauh.  Jadilah ia berwudhu di dalam WC yang terbuka dan saya berdiri mematung mengawasi seolah satpam.  Bila ada lelaki lain yang mencoba untuk ngantre di WC istriku, kupersilakan ia untuk pergi ke WC yang lain sembari kukatakan terus terang, istriku lagi berwudhu dan saya selaku suaminya tak terima orang lain melihat auratnya.  Syukurlah Alloh ngasih saya perawakan yang tinggi besar dan menakutkan, hingga dengan sekali penjelasan orang pun segan dan dengan sukarela pindah ke WC lain.
Syukurlah prosesi sholat selesai bersamaan dengan bergulirnya roda-roda bis pengangkut jamaah.  Bis yang kami tumpangi tak mau menunggu. Ya Alloh kami ditinggal!
Syukurlah masih ada bis paling belakang yang bersedia mengangkut kami.  Kami jadi selebriti dadakan.  Semua mata menatap.  Seolah semua kesalahan ada pada kami.
Sabar pak bu, kami hanya mencoba menjalankan kewajiban kami tanpa perlu mengorbankan kewajiban kami yang lain.  Kami hanya menunaikan sholat tanpa perlu mempertontonkan aurat istri-istri kami.
Bis pun berhenti kembali.  Kali ini antri menurunkan penumpang.  Kesempatan ini kugunakan untuk berlari-lari kecil bergabung kembali dengan rombongan.
Alhamdulillah akhirnya pantat ini menemukan tempat duduknya yang nyaman di barisan tengah pesawat super besar Saudi Air lines.  Syukur sekaligus kesadaran telah melalui satu episode dalam perjalanan haji kami.
Episode menunggu di Executive Lounge Embarkasi Surabaya.

Pelajaran yang dapat diambil adalah:  Gunakan kesempatan meski sekecil mungkin untuk menunaikan kewajiban kita, dan jangan pernah merasa bersalah atas nama kebersamaan ketika kebersamaan itu sendiri takpernah mendefinikan kesepakatan-kesepakatan untuk dipatuhi.  Bingung kan?
Maksudnya selama gak ada peraturan bersama yang kita langgar, ibadah jalan terus bro and sis!. 

Asrama Haji Embakarsi Surabaya (Serpihan Haji 2012 Eps 3)

Kurang lebih pukul 16.00 WIB di 2 Oktober 2012, bis yang kami tumpangi meluncur sudah.  Asrama Haji Surabaya yang menjadi tujuan kami.  Waktu tempuh normal dari Pendopo Sidoarjo biasanya tak kurang dari 1,5 hingga 2 jam.  Namun karena status Tamu Alloh yang kami sandang berikut pengawalan polisi, tak sampai 45 menit kami sudah memasuki aula .  Panitia sudah rapi berderet menyambut kami.  Acara inti saat itu adalah pembagian obat-obatan, kamar dan kartu tanda menginap.  Harus antri memang.  Tapi tak terlalu lama kok.  Yang lama (seperti biasa di Indonesia) adalah sambutan-sambutan.
Kami tergabung dalam kelompok terbang SBY 42.  Merupakan kelompok terbang gabungan kabupaten Sidoarjo, Surabaya, Madura serta Magetan.  Kloter kami termasuk kloter-kloter akhir gelombang 1 yang terbang dari embakarsi Surabaya.  Gelombang pertama sendiri seluruhnya berjumlah 47 kloter pada musim haji 2012 ini.
Usai mendapat kejelasan kamar, kami pun berhamburan.  Bukan apa-apa, hanya sekedar untuk membaringkan badan.  Persiapan berangkat sejak dini hari memaksa kami tersadar akan kebutuhan untuk istirahat.  Menghemat tenaga, mengingat ibadah inti yang harus kami jalani masih terbentang dalam hitungan hari.
Namun niat baik itu tak sepenuhnya terlaksana.  Kami masih homesick.  Agenda berikutnya sudah pasti.  Kami coba hubungi kembali anak-anak untuk mengikis perasaan khawatir dan bersalah meninggalkan mereka .  Syukurlah Alloh telah menenteramkan mereka.  Hanun, bungsuku 3 tahun telah tertidur lelap.
Selepas isya panitia masih memberikan pembekalan pada kami.  Trik melilitkan kain ihrom agar burung kami tidak terbang menjadi topik hangat diantara jamaah.
Mencoba memejamkan mata adalah pekerjaan paling sulit ketika tetangga sebelah dipan masih mengajak bicara.  Kamar yang berisi 4 dipan susun ini, kami tempati berenam.  Tentu saja laki semua.  Jangan tanya disain interiornya.  Kayaknya manajemen asrama haji Surabaya menganut paham minimalis.  Lha wong cuma untuk tidur semalam saja kok minta fasilitas hotel bintang lima.  Kami pun tak mempermasalahkan.  Belajar ikhlas.  Dan itulah keuntungan menjadi panitia haji.  Bila ada kekurangan maka jamaah pun diwanti-wanti untuk sabar dan ikhlas.  Sebagaimana ikhlas dan sabarnya Hajar ditinggal suaminya Ibrahim.
Maka kami pun ikhlas tentang kamar mandi yang jarang bersua soklin.  Tentang kamar yang tidak berkunci dan berslot.  Tentang karpet yang berdebu.  Dan tentang AC yang airnya membanjiri tempat jemuran kami.
Maka akhir dari keikhlasan adalah kegembiraan.
Selepas menerima paspor dan Riyal Living cost, kami berbaris antri menuju bis setelah sebelumnya harus lolos uji scanner tas jinjing.  Ancaman petugas yang akan membongkar koper bawaan kami bila didapati ada air minum sempat membuat keder kami.  Banyak terhampar botol minuman di depan kami hasil razia.
Bismillah.  Meski sudah melafazkan nama Alloh, aku sempat ketar-ketir juga.  Tiga botol pulpy orange belum sempat kuhabiskan, sebagaimana dilakukan orang-orang.  Lagian aku tak berniat untuk menjadi penyelundup.  Perjalanan ke bandara selama 2 jam passtinya akan mendehidrasi tubuhku.  Dan sedia payung sebelum hujan tentu adalah pilihan yang bijak.
Syukurlah petugas tak menangkap tanda-tanda seorang penyelundup dari wajahku.  Tas ku pun aman menggelinding hingga pintu detector.  Dan tenyata tuit..tuiit...tuiit.  Detector pun berteriak.  Setengah heran dalam hati, masak iya sih ada detector cairan, yang mempu mendeteksi air minum?
Lambaian tangan petugas agar aku mendekat semakin membuatku pasrah.  Namanya juga usaha.  Apa yang aku pikirkan ternyata tidak beralasan.  Belum ada detektor canggih yang mampu mendeteksi air jeruk.  Yang ada adalah tanpa sengaja istriku memasukkan gunting yang sedianya untuk tahalul ke dalam tas jinjing.  Bukan ke koper besar.  Dan episode ini berakhir dengan dibongkarnya tas jinjingku hanya untuk mengeluarkan sebilah gunting cukur.
Pelajaran berharga episode ini adalah: Jangan percaya ada detektor yang bisa mengendus cairan.  Hanya petugas haji Indonesia yang melakukannya.  Bila anda merasa membutuhkan air minum selama perjalanan dari asrama haji ke bandara maka membawa air minum adalah keharusan.  Terlebih jamaah Haji embakarsi Surabaya disediakan  ruang tunggu yang super VIP di tengah sawah.  Tanpa air minum!

Rabu, 16 Januari 2013

Peci Yang Tinggal Mimpi (Serpihan Haji 2012 Eps 2)

Perpisahan adalah satu kata yang pasti terjadi namun jarang bagi setiap insan untuk mempersiapkan diri menghadapinya.  Detik-detik itu sungguh sangat berharga.  Ia menjungkirbalikkan semua fakta yang telah membangun dirinya menjadi sebuah kebiasaan, sebuah tradisi dan sebuah budaya.  Kedahsyatannya menjadi nyata dalam hitungan detik saja.  Bagaimana mungkin ia mampu mengubah pribadi yang keras, pribadi yang tak mempan mengucurkan air mata bahkan oleh hajaran sekeras batu pualam sekalipun menjadi pribadi yang lembut, lunak dan penuh perasaan.  Dan itulah yang kami alami, pagi dinihari sesudah subuh yang luar biasa.  Subuh pada hari di mana siangnya, kami, aku dan istri harus berpisah dengan keempat buah hati kami, Ammar, Fatah, Syifa dan Hanun. Berpisah memenuhi takdir Ilahi yang telah 4 tahun sebelumnya kami nanti.  Menunaikan rukun keislaman kami.
Hujan air mata mengakhiri Ma'tsurat kami pagi itu.  Kami pun berpamitan.  Bermaafan.  Kusebut satu persatu kewajiban yang mungkin belum kutunaikan dengan sempurna.  Memohon keikhlasan mereka berempat-anak-anakku- untuk bisa menerimanya dengan lapang.  Tak sampai hati sebetulnya melihat mereka berlinang, seolah hari itu adalah perpisahan yang sesungguhnya.  Tak kutampik memang kalau momen itu kugunakan untuk berpamitan layaknya serdadu yang hendak berperang.  Yang berpesan pada sanak kerabatnya untuk tidak mengharapkan dirinya kembali.  Terlalu berlebihan mungkin.  Namun harus kuutarakan semua kemungkinan kehidupan yang boleh jadi menimpa kedua orangtuanya.  Karena perjalanan 10 jam dengan Burung Besi selalu menyimpan sejuta kemungkinan.  Termasuk tak kembalinya kami untuk pelukan hangat yang selalu mereka rindukan.  (Pelukan yang kami tumpahkan dengan air mata kesyukuran kelak saat Alloh mentakdirkan kami kembali bertemu dengan mereka sepulangnya Haji).
Sejumput pesan kutitipkan pada Ammar, sulungku yang telah 16 tahun bersama untuk sabar menjaga adik-adiknya.  Mengantar Hanun sekolah, bungsuku yang 3 tahun berusia.  Memandikannya tiap hari, menyuapinya bila lapar, menyebokinya bila BAB dan merelakan waktu bermainnya menjadi partner bermain yang menyenangkan.  Tak banyak tugas kuberikan pada Fatah, yang memang sedang mondok di pesantren.  Hanya amanah untuk selalu menjaga diri di pesantren dan tak lupa doa untuk kami.  Syifa, perempuan kami yang ketiga, tak ketinggalan menerima amanah jua.  Di tangannyalah kami titipkan sejumlah uang untuk digunakan selama kami pergi.  Dialah yang mengatur semua pengeluaran belanja prajurit-prajurit kami.  Maka semua pertanyaan-pertanyaan tetangga dan teman yang menyangsikan kepergian kami dengan meninggalkan 4 anak yang belum mandiri tuntas sudah.  Tak ada kekhawatiran kami meninggalkan mereka tanpa ada orang dewasa yang menemani mereka.  Sebagaimana tak ada kekhawatiran Ibrahim meninggalkan istrinya sendirian di lembah tandus. 
Plong sudah.  Dan kami pun telah siap menyambut panggilan Illahi.
Tahapan pertama yang mesti kami lalui adalah perpisahan dengan Bupati Sidoarjo, Syaiful Ilah.  Meski sama-sama berlabel perpisahan, namun tak ada keharuan di sana.  Tak ada emosi.  Datar dan biasa.  Dan sebagaimana acara seremonial lainnya, acara ini juga tak luput dari penyakit molor.  Direncanakan jam 14.00 WIB, namun baru dimulai jam 15.00 WIB, tepat adzan ashar berkumandang.  Patut disayangkan pembawa acara yang menghimbau agar jamaah tidak sholat ashar dulu, menunggu acara selesai.  Sebuah seruan yang berlawanan dengan semangat Haji yang menghendaki jamaah untuk melakukan ketaatan total padaNya.
Syukurlah jamaah tidak terpengaruh meskipun hanya beberapa saja.  Seandainya jamaah taat pada protokoler, maka habis sudah bangunan keikhlasan yang hendak mulai bertumbuhan.  Dan Bupati sak antek-anteknya menanggung dosa jamaah keseluruhan.  Rasakno dulur...!  Matek Kon!
Ada baiknya panitia memperhatikan jam protokoler perpisahan ini agar tidak mencederai semangat haji yang menekankan ketaatan total pada Nya.
Maka puncak acara basa-basi itu adalah penyematan jaket batik nasional, yang diklaim sebagai bantuan dan hadiah Pemkab Sidoarjo pada jamaah.  Kami pun berterima kasih.  Tak cukup cuma jaket, Bupati pun menambahkan hadiahnya berupa peci khas penanda jamaah Sidoarjo.  Katanya.  Karena sampai  kembalinya ke depan pintu rumah, kami tak pernah menerima peci yang dijanjikan.  Dan sebagaimana biasanya, kami pun mengikhlaskannya.  Tak menuntut dan mengajukannya ke pengadilan.  Bagaimanapun juga semua seremonial itu menunjukkan betapa mereka mencintai kami.  Betapa mereka menghormati tamu-tamu Alloh ini.  Dan pastinya mereka berharap, doa-doa kami selama di tanah suci mengalir untuk kesejahteraan dan kemakmuran Sidoarjo.
Terima kasih Pak Bupati!

Senin, 07 Januari 2013

Manasikku Manna ? (Serpihan Haji 2012 Episode 1)

Sebetulnya sudah masuk kategori daluwarsa bila perjalanan haji kemarin baru sekarang diprasastikan.  Ada sih niat saat itu untuk mengupdate perjalanan ritual minute to minute nya.  Namun karena ketaktersediaan laptop dan jaringan internet yang memadai, komplit sudah alasanku untuk tak menuliskannya. Meski alasan yang sebenarnya tepat adalah kemalasan yang dibungkus dengan kesibukan beribadah di sana. Taile...., ibadah rek...!
Yuup, semangat untuk merekam semua kejadian demi kejadian terpaksa diakomodir berbarengan dengan ramenya pemberitaan di koran tentang tudingan adanya aroma korupsi dalam penyelenggaraan haji tahun ini (2012) di Kemenag.  Saya sih tidak berkepentingan dengan semua tudingan itu.  Gak ngaruh.  Silakan ambil kesimpulan sendiri.  Tugas ku yang mulia nan terpuji cuma satu (kalo bukan diriku yang memuji diri sendiri siapa lagi?), agar kalian para calon jemaah bisa bersiap dan menyambut panggilan Alloh ini dengan lebih efektif dan efisien sehingga tidak berdampak sistemik pada keutuhan negara dan bangsa Indonesia.  Merdeka!!!  Dan episode pertama ini pun bergulir...

Manasikku mana?
Manasik begitu jamaah bilang, adalah pengetahuan tentang tata cara peribadatan haji dan umroh.  Substansinya cuma satu menurutku, agar kita melaksanakan semua rukun dan wajib haji yang memang benar-benar Rasulullah Muhammad saw contohkan buat kita.  Kalo anda sepakat mengenai hal ini, maka semua ritual ibadah haji adalah enteng lagi ringan, nikmat lagi menggairahkan, enak lagi menggemaskan, dan bukannya berat lagi abot, bosan dan membosankan.
Masalahnya adalah begitu banyak ragam manasik.  Masing2 KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) mengajarkan cara manasik yang berbeda2, dan semuanya mengklaim mencontoh Rasululloh.  Nah Lho..!
Sebagai orang awam, mana yang kita pilih?
Gampang kok kalo mau ikuti triks Hukum Untung Pertama.
"Bila ada pertentangan pendapat dan keduanya mengaku didasarkan pada hadist yang sahih, tanyakanlah pada kitab hadist apa, hadist yang dijadikan sandaran hukum itu berada".
Biasanya sih (tapi tidak selalu lho) mereka yang asal-asalan, tidak mampu untuk menyebut sumber hadistnya dari mana.  Tapi kalo cara ini tidak berhasil, lanjutkan dengan Hukum Untung Kedua.
"Bandingkan dengan sebanyak mungkin membaca literature tentang hal yang dipermasalahkan, karena masing-masing pembahas akan menonjolkan pendapatnya dan berdoalah agar mereka mencantumkan sumber hukumnya".
Ntar kalo cara ini juga tidak mempan, ikuti langkah berikutnya dengan Hukum Untung Ketiga.  Tapi itu nanti, kalo gak berhasil hubungi saya langsung tanpa perantara.  Ingat ! tanpa perantara !

Dengan mengantongi segepok informasi dan dari hasil penelusuran investigatif serta serangkaian fit and proper test, akhirnya kami (saya dan istri) menetapkan pilihan pada satu KBIH.   Baitul Izzah namanya.  Ini bukan promosi, cuma iklan, semacam pemberitahuan saja bahwa layanan mereka memang sepenuh hati buat jamaahnya.  Ntar akan kami tuliskan tentang kiat praktis memilih KBIH yang kompeten dan terpercaya asal anda juga sepakat untuk mengingatkan saya.
Nah kembali ke topik manasik.
Sebenarnya semua KBIH juga menyelenggarakan manasik.  Frekuensinya ngalah-ngalahin kemenag.  Dan dilakukan rutin jauh hari sebelum mendekati hari H.  Bila semua calon jamaah haji tergabung dalam KBIH, tentu manasik yang diselenggarakan Kemenag seolah tidak berarti.  Karena calhaj sudah kenyang dengan menu manasik KBIH.  Oleh karena ada sebagian calhaj yang mandiri, tidak tergabung dengan KBIH, maka manasik Kemenag tetap diperlukan.
Pertanyaannya cuma satu.  Apakah frekuensi dan durasi waktunya cukup memadai memberikan bekal pengetahuan tata cara perhajian?  Saya pernah ikut sekali, pembekalan manasik terakhir dari kemenag kabupaten.  Kebanyakan calhaj tidak tahu berapa kali seharusnya manasik kemenag diselenggarakan.  Yang jelas untuk sekali kehadiran, saya diminta tanda tangan sebanyak empat rangkap, begitu pun tamu undangan lainnya.  Hadirin tidak mempermasalahkan, mungkin karena mereka beranggapan bekal  manasik dari KBIH sudah lebih dari cukup.  Maka manasik yang lebih banyak didominasi pengalaman teknis (bukan hal terkait syari'ah pelaksanaan haji) dianggap sebagai seremonial belaka.
Seandainya saja saya adalah bagian dari Haji mandiri, maka saya akan berteriak: Manasikku Mannnaaa..?

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More