Plang satu-satunya di dunia ttg Candi Pari (dok:pribadi) |
Lupakan sejenak tentang sapi, maka minggu pagi kemarin menjadi pelampiasan. Nggowes yang kami rencanakan sehari sebelumnya menjadi momen-momen indah menghilangkan bosan dengan aneka kebencian dan hujatan. Tujuan kami saat itu cuma satu: Candi Pari. Situs Purbakala yang tak pernah kami duga, ternyata hanya berjarak tak lebih dari belasan kilometer saja. Bener tak pernah kami duga, kalo Sidoarjo yang telah kami tetapkan sebagai tempat tinggal kami, menyimpan sejuta cerita, mengabadikan begitu banyak legenda, dan menjadi saksi peradaban beratus tahun sebelum kelahiran nenek saya.
Maka perpancalan pun dimulai. Tepat jam 5.45 WIB episode sejarah nenek moyang pun mulai kami koyak. Keingintahuan Fatah, anak kedua , yang kebetulan hari itu menemani saya, sangat besar. Sebesar keheranan dan ketidaktahuannya kalo ternyata Sidoarjo memiliki situs candi. Disayangkan memang di usia 14 tahunnya, anak SMPIT Dafi tak tahu menahu tentang histori Sidoarjo. Wujud ketidakberhasilan Pemkab Sidoarjo (via Dinas Pariwisata tentunya) mensosialisasikan kekayaan wisata daerah sendiri. Hmm…
Kami mengambil jalur memutar. Melewati mbulak, jalan beraspal sempit yang kanan-kirinya menghijau, berhiaskan padi belia. Tumbuh subur tanpa diiringi kekhawatiran diterjang aliran liar lumpur lapindo. Sepasang petani suami istri mempertontonkan kolaborasi yang romantis. Si Laki mendorong sapi bermesin dengan sekuat tenaga. Perempuannya membungkuk sembari menusukkan tanaman padi belia. Orang-orang menyebutnya ‘tandur’. Noto Mundur. Bertanam sambil mundur. Filsafah kepemimpinan yang hakiki. Karena keberhasilan seorang pemimpin bukanlah dihitung dari lamanya menjabat, tapi keikhlasan untuk mundur setelah meninggalkan karya yang nyata. Setelah menciptakan genarasi penerus yang ia yakin bermanfaat. Sinar mentari meski masih berhemat seolah takut kehabisan stok, telah mampu memompa butiran air di wajah keduanya. Peluh sudah pasti membanjiri pipi, leher, dada dan ketiak yang terseka otomatis dengan kain lusuh yang membalut tubuh mereka. Sungguh keringat mereka adalah keringat kualitas satu. Tidak sama dengan keringat yang saya cucurkan. Karena keringatku lahir dari niat untuk menghilangkan gelonggong lemak yang mengitari pinggang dan paha. Sedangkan mereka lahir dari niat yang tulus untuk memberi penghidupan anak turunnya. Keberkahan luar biasa yang menjauhkan mereka dari sakit dan ketidakberdayaan.
Bagi awam yang pernah ke Borobudur, Prambanan, dan candi-candi sekitarnya, Candi Pari mungkin tidak begitu istimewa. Susunan batu alam yang kokoh yang membentuk tubuh candi Borobudur dan kawan-kawan tak dapat dibandingkan keangkuhannya dengan tumpukan batubata merah yang membody Candi Pari. Hamparan luas dan panorama view yang membalut Borobudur dan Prambanan jauh lebih eksotik dibanding dataran rendah seluas 13,55 x 13,44 meter bujursangkar yang mengurung Candi Pari. Borobudur setinggi 34,5 meter tentunya lebih jangkung dibanding 13,8 m tinggi Candi Pari. Apalagi soal aksesorisnya. Dengan koleksi 1460 relief , 504 arca dan 72 stupa, Borobudur ibarat Goliath. Pada lokasi candi Pari hanya ditemukan 2 arca Siwa Mahadewa, 2 arca Agastya, 7 arca Ganesha dan 3 arca Budha. Itupun semuanya telah disimpan di Museum Nasional Jakarta. Jangan juga bertanya tentang perhatian pemerintah daerah setempat. Banyaknya lumut yang menutup permukaan candi, pagar kawat berduri ala kowboy, serta jam buka yang tak tentu semakin meneguhkan sikap tak acuh pemda Sidoarjo.
Lantas apanya yang menarik?
Langsung saja saya bocorkan. Keunikannya mas Bro dan Mbak Sis.
Tidak seperti candi-candi di tanah Jawa, Candi Pari lebih mirip tugu raksasa. Pengaruh Campa sangat kental pada fisik candi. Tambun dan kokoh. Sekilas mirip dengan Candi Muara Takus di Jambi. Dengan dominasi batu bata merah yang melilit badannya, melahirkan begitu banyak kekaguman dan pertanyaan. Bagaimana merekatkan bata satu dengan lainnya? Tanpa melibatkan semen apalagi besi untuk menopang tegaknya tubuh candi.
Kesan mistis langsung terasa begitu kita masuk ke dalam bilik candi. Ruangan persegi seluas 5 x 5 m2 tampak lengang. Tampak bekas sajen bertaburan bunga yang layu merapat di dinding Timur. Berlawanan dengan arah pintu masuk. Beberapa patung kecil tak berkepala semakin menambah kesan seram. Meski disiang hari sekalipun. Ruangan bilik candi begitu terang pada pagi itu. Lubang ventilasi yang mengelilingi candi mengalirkan udara sekaligus cahaya. Kesan pengap pun sirna.
Puncak Candi Pari (Sumber: dokumen pribadi) |
Tugu kuning sendiri tidak kami lalui. Sensasi nggowes dengan jalurnya yang menantang memaksa kami membuat jalurnya sendiri. Tidak terlalu ekstrim sih, namun memaksa kami untuk bertanya setiap kali dihadapkan pada dua pilihan jalan yang bercabang.
“Nderek tanglet Pak/Bu/Mas, Menawi badhe teng Candi Pari medal pundi nggih?”
(Numpang nanya pak/bu/mas, jalan ke candi pari lewat mana ya?).
Lumut memenuhi lantai sisi utara Candi Pari, Indah memang, namun menghancurkan..(Sumber: dokumen pribadi) |
Tak perlu bawa air minum cadangan. Hukum ekonomi telah menyediakannya. Sekitar candi ada penjual minuman, meski tak terlalu banyak. Namun jangan harap bisa masuk areal candi tanpa perjanjian lebih dahulu. Akibat terlalu percaya diri, kami harus menunggu 2 jam lamanya menunggu penjaga candi datang. Kalaupun kami akhirnya berhasil masuk lokasi candi, bukan karena penjaganya datang, tapi karena penjual warung depan candi kasihan melihat kami yang kelamaan menunggu. Sehingga tanpa diminta ia keluarkan dari kantongnya kunci untuk membuka selot pagar. Ya ampun pak…, kok gak dari tadi sih..?
Awalnya saya menyangsikan kekuatan injak trap/anak tangga candi. Batu bata bro? Kuat nggak ya menopang 90 kg jasad ini? Maka dengan hati-hati kulangkahkan kaki menuju pintu bilik utama. Tak seperti candi di Jawa , anak tangga menuju pintu bilik candi tidak dalam satu garis lurus. Tapi terbagi dua kiri dan kanan candi. Persis panggung ketoprak , harus naik dari sisi kiri atau kanannya. Semuanya batu bata. Kecuali trap yang mengarah ke pintu bilik candi. Sangat curam. Perlu tenaga ekstra untuk melewatinya.
Sisi Selatan Candi Pari tak jauh beda dengan sisi utara , penuh hamparan hijau lumut (sumber : dokumen pribadi) |
Sudut Tenggara Candi…, seandainya tumpukan batu bata itu masih utuh…(sumber : dokumen pribadi) |
Sudut tenggara yang cantik, ada yang ingin bikin prewedding photo? (sumber: dokumen pribadi) |
Taman depan pintu bilik candi, lengkap dengan dua sejoli, sepeda cantik (sumber: dokumen pribadi) |
Artikel Terkait Lainnya :
Indonesiaku
- Rutinitas Yang Mematikan
- Menulis itu gampang?
- Rampal, Pusat Kebugaran Rakyat
- Mengapa Tema ‘Politik’ Lebih Diminati
- Idiopatic Trombositopenia Pupura
- Hamba Alloh Haram Nyumbang Partai
- Pontianak, Tugu Khatulistiwa, dan Kedai Kopi Merapi
- Panitia Qurban (jadi) Korban
- Haji Sandal Jepit
- Semoga Komodo Bukan Komoditas Politik
- Komodo, The New Pemersatu Bangsa?
- Alamak....Lupa..!
- Kota tumpangan
- Hubungi Saya :
0 komentar:
Posting Komentar