Semoga Komodo Bukan Komoditas Politik

Masih ingat 'gladiator'? Ia merupakan salah satu film favorit saya. Masih terekam dalam benak saya, ucapan Commodus Patricide, tatkala bermaksud mengurangi pengaruh Senat Romawi, dengan pernyataannya, "Berikan pada rakyat apa yang mereka sukai. Maka mereka akan menyerahkan hatinya padamu".

Haji Sandal Jepit

Bingung? Istilah ini mulai populer ketika musim haji tiba. Kalau anda mendengar pemberitaan koran yang ramai-ramai mewartakan adanya jamaah haji yang gagal berangkat melalui biro perjalaan haji, maka mereka yang gagal inilah yang ditempelkan kepada mereka sebutan 'haji sandal jepit'.

Orang Jawa Punah

Tidak sebagaimana suku-suku lainnya yang ketat mengadministrasikan garis keturunan melalui nama keluarga, farm atau marga kayak suku Batak, Minangkabau, Minahasa, Ambon, Timor, Nias, Dayak dan Toraja, jarang keluarga Jawa yang menadministrasikan dengan baik silsilah keturunannya.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Panitia Qurban (jadi) Korban

Alkisah satu bulan menjelang hajat tahunan ibadah Haji dilakukan, berkumpullah segelintir warga perumahan Mutiara Citra Graha yang kebetulan mau menyibukkan dirinya dalam kegiatan Musholla, hanya untuk membahas pembentukan panitia sekaligus persiapan untuk mengakomordir pelaksanaan warga perumahan yang bersedia untuk berkurban.

Senin, 27 Januari 2014

Once Upon A Time in Jember

Seumur-umur barusan kemaren 25 Januari 2014 berkesempatan tour ke Jember.  Tidak terlalu direncanakan kalo harus bertiga.  Saya, istri dan tentu saja yang selalu nguntit kemana pun, si bungsu!  Ya sudah akhirnya kami putuskan untuk naik kereta saja.  Perjalanan via mobil sudah lazim dijatah 6 jam Surabaya-Jember.  Pakai kereta dapat diskon 3 jam!  Beruntunglah PT. KAI, karena semakin banyak orang yang berhitung dengan waktu semakin besar pundi-pundi didapat. 
Ini adalah perjalanan pertama kali dalam kurun waktu 20 tahun.  Terakhir tentu saja saat saya kuliah dulu 1991-1994.  Menjelang kelulusan tahun 1994, hampir setiap minggunya saya habiskan pulang pergi Jakarta-Purworejo dengan Sawunggalih tercinta.  Bukan karena banyak uang.  Bukan pula banyak urusan.  Namun lebih banyak termotivasi untuk menghabiskan waktu di kampung sebelum ditendang keluar Jawa kala kelulusan nanti.  Sebagai penggembira sekolah kedinasan, saya cukup belajar dari pengalaman kakak kelas.  Luar Jawa adalah prioritas bagi kami-kami, pemuda yang masih basah dengan kerasnya bangku kuliah, untuk mengabdi sebagai pengganti buku-buku gratis dan rapelan gaji yang telah habis kami nikmati.
Dan ini adalah kali pertama juga buat si bungsu Hanun, naik kereta dengan durasi lama, setelah sebelumnya hanya cukup dipuaskan dengan Komuter Surabaya-Sidoarjo saja.
Seolah mentrasir kenangan lama, tentu sebuah kesengajaan bila perut tak banyak menimbun karbo.  Bukankah di stasiun nantinya banyak orang yang jualan makanan? 
"Pecel mas.., pecel..! Alunan nada khas yang tak bisa lepas dari memori saya kala itu.  Menggiring mata saya untuk menelusuri setiap jengkal stasiun.  Berharap mendapat sapaan hangat macam itu.  Jujur lho ya, nasi pecel yang paling enak itu bukan nasi pecel madiun, kediri atau ponorogo.  Tapi yang ternikmat adalah nasi pecel yang kita beli di kereta ekonomi.  Sambil ndeprok, simbok penjual melayani kita.  Tangannya bergantian mengambil sayuran, kecambah, kubis, juga bunga turi, setelah sebelumnya tentu saja menerima uang pembayaran dari pembeli sebelum saya.  Belum lagi kalo keringatan.  Tangan yang buat ambil sayur itulah yang paling cekatan mengusapnya.  Tambah seep lagi bila ada kaki-kaki penumpang yang lewat di atas bakul jualan, tanpa bilang permisi.  Semakin aroma nya terasa.  Pokoknya Nendang kata Bondan Winarno.
Sayang harapan itu musnah.  Manajemen baru PT. KAI tidak mentolerir penjual apapun barangnya, siapapun saudaranya, apapun pangkatnya, berapa kalipun telah naik haji, untuk berjualan di area dalam stasiun.  Benar-benar steril!
Syukurlah masih ada kudapan jatah Hanun yang bisa di gasak.  Maka perjalanan ke Jember pun kering-kerontang.  Tak ada yang melekat kuat, kecuali pohon-pohon yang berlari kencang meninggalkan kami di belakang.
Acara utama sebenarnya menghadiri resepsi pernikahan.  Teman yang telah pensiun mantu si bungsu.  Dan ini adalah pelampiasan saya.  Karena dulu ketika ia mantu si sulung, saya punya alasan yang pas.  Barusan keluar rumah sakit!  Ia pun maklum.  Maka ketika ia tak kapok lagi mengirim undangan, maka tak pantas lagi saya absen menghadirinya.  Ternyata Tuhan menggantinya dengan hikmah yang jauh lebih mahal, dari sekedar biaya tiket kereta bisnis pulang pergi yang saya keluarkan.
Acara resepsinya standar, kanyak kebanyakan orang resepsi pernikahan.  Berbaris antri mengucapkan doa dan selamat kepada mempelai dan orang tuanya, icip sana icip sini, mencoba komposisi makanan kayak chef yang bertindak juri, dan kebisingan pengisi acara yang terus bernyanyi tanpa mau tahu hadirin menikmati lagu mereka atau tidak.
Namun yang berbeda adalah jabat tangan hangat dari rekan-rekan yang telah lebih dulu pensiun.  Wajah mereka nampak tak berubah.  Ada yang memilih menikmati masa tuanya dengan mengabdi pada aktivitas sosial, ada yang masih meneruskan tradisi pekerjaan lamanya, ada yang benar-benar bekerja di luar bidangnya.  Dan ada pula yang murni menikmati hari tua dengan bercanda bersama anak cucu mereka.  Mereka datang dengan istrinya masing-masing.  Tentu saja juga sudah tua.  Bercanda, mengingat masa lalu.  Kadang serius membanggakan aktivitasnya sekarang hingga memberikan nasihat buat yang masih muda macam saya.
"Perutnya mas, dijaga ya, jangan kayak orang hamil gitu rek.  Ntar susau kalo sudah tua.  Tidak gesit dan lincah macam suami saya", kata bu (siapa saya lupa namanya) istri kawan yang pensiun.  Saya perhatikan hampir semua pensiunan, mereka yang telah meninggalkan dunia birokrasi, malam itu tampak langsing, sehat dan berwajah muda. 
Saya tak bisa membayangkan 18 tahun kedepan.  Saat saya pensiun .  Akankah saya sehat, muda dan gembira kayak mereka? Hingga ketika berkumpul dalam acara-acara mantu atau reuni bisa bercanda dan tertawa?
Aha terlalu berani pertanyaannya.  Agak lebih realistis bila diubah macam gini: mungkinkah saya bisa pensiun seperti mereka telah melewatinya?
Hanya Tuhan yang mengerti jawabnya.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More