Seumur-umur baru kali ini perjalanan diiringi sirine pengawalan polisi. Bayangan jalan macet pupus sudah. Dua voreinder didepan kami bagaikan kapal pemecah es, yang menyibakkan jalan bagi kapal utama. Mudah-mudahan saja pengendara jalan yang terganggu dengan rombongan kami tidak mencak-mencak dan mengirim doa umpatan buat kami para jamaah haji, yang memang tidak minta diperlakukan secara khusus bak pejabat negeri ini kala berkunjung ke suatu daerah.
Perjalanan kami sibukkan dengan barter cerita. Banyak sekali pengalaman hidup yang kuperoleh dari teman sebelah. Namanya Mangesti Waluyo Sejati. Beliau adalah pimpinan KBIH tempat saya bergabung, dan pada musim haji 2012 ini berkenan mendampingi kami langsung. KBIH yang beliau dirikan bukanlah tempat sandaran hidupnya. Secara materi sudah dicukupkan dari perusahaan pengolahan hasil laut yang berorientasi ekspor, yang menggelinding dengan sendirinya tanpa ada lagi campur tangannya. Semua sudah dipercayakan kepada manajer yang profesional. Fokusnya cuma satu. Melayani jamaah dan mengantarnya menjadi Haji yang mabrur (Insya Alloh).
Perbincangan yang menarik ini akhirnya harus terhenti. Bis melambatkan lajunya dan mulai berhenti. Kulihat bis yang lainnya takjauh beda. Kanan kiri kami lahan bekas sawah yang mengering. Ada beberapa kotak warna-warna di kanan jalan. Seukuran pos jaga tentara yang berisi satu prajurit saja besarnya. Tak ada pemberitahuan dari petugas haji: Kita sudah berada di mana, mau apa, dan berapa lama. Semua dibiarkan saja. Semua sudah paham. Jamaah pun kembali ikhlas.
Karena sudah masuk waktu dzuhur beberapa jamaah berinisiatif keluar dan menuju pos jaga warna-warni. Oh rupanya kamar kecil berbahan fiberglass yang disediakan khusus bagi tamu Alloh ini. Disebelah luarnya nya ada satu kran untuk setiap kotak WC itu.
Oh rupanya buat ambil air wudhu! Lalu masjidnya mannnnaa...? Oh luar biasa. Inilah masjid yang sebenarnya. Beratapkan langit biru, beralaskan rumput kering dan bermandikan sinar cahaya mentari. Menyengat memang. Ya itung-itung sekalian latihan. Kan cuaca di tanah suci lebih panas. Kami pun mencoba belajar ikhlas lebih khusuk lagi.
Prosedur yang kami tempuh untuk sholat memakan waktu lama. Kami tak pernah menduga akan sholat di rerumputan kayak gini. Petugas di asrama pun tak pernah sekalipun ngasih tahu. Satu kotak WC untuk satu bus. Setiap jamaah cenderung berasyik masyuk di WC sebelum keluar untuk mengambil air wudhu disebelahnya. Tak ada tempat wudhu khusus untuk perempuan.
Maka proses antre pun di mulai. Di siang bolong, ditengah terik bakaran matahari.
Meski warna-warna di luar, kami tetap harus berhati-hati kala menapakkan kaki di dalam WC. Kekhawatiran tersentuh najis orang yang sebelum kami membuat kami ekstra waspada. Jamaah wanita yang tak telaten berwudhu di dalam kotak ajaib itu banyak yang berwudhu di luar. Disaksikan puluhan mata lelaki yang bukan muhrimnya. Darurat katanya.
Tak adanya kejelasan berapa lama kami harus terlantar dan dengan pertimbangan sholat di pesawat tak senyaman bila sholat di tanah lapang, akhirnya turun juga saya ikut mengantre. Syukurlah masih kebagian sholat berjamaah.
Namun masalah tak berhenti dengan diucapkannya salam ke kanan dan ke kiri. Istriku masih terkatung-katung di bis. Ia bersikeras untuk tak mau meniru, berwudhu di tempat terbuka kayak gitu. Alhasil dengan rayuan kutawarkan ia untuk berwudhu di kotak pandora warna-warni yang paling jauh. Jadilah ia berwudhu di dalam WC yang terbuka dan saya berdiri mematung mengawasi seolah satpam. Bila ada lelaki lain yang mencoba untuk ngantre di WC istriku, kupersilakan ia untuk pergi ke WC yang lain sembari kukatakan terus terang, istriku lagi berwudhu dan saya selaku suaminya tak terima orang lain melihat auratnya. Syukurlah Alloh ngasih saya perawakan yang tinggi besar dan menakutkan, hingga dengan sekali penjelasan orang pun segan dan dengan sukarela pindah ke WC lain.
Syukurlah prosesi sholat selesai bersamaan dengan bergulirnya roda-roda bis pengangkut jamaah. Bis yang kami tumpangi tak mau menunggu. Ya Alloh kami ditinggal!
Syukurlah masih ada bis paling belakang yang bersedia mengangkut kami. Kami jadi selebriti dadakan. Semua mata menatap. Seolah semua kesalahan ada pada kami.
Sabar pak bu, kami hanya mencoba menjalankan kewajiban kami tanpa perlu mengorbankan kewajiban kami yang lain. Kami hanya menunaikan sholat tanpa perlu mempertontonkan aurat istri-istri kami.
Bis pun berhenti kembali. Kali ini antri menurunkan penumpang. Kesempatan ini kugunakan untuk berlari-lari kecil bergabung kembali dengan rombongan.
Alhamdulillah akhirnya pantat ini menemukan tempat duduknya yang nyaman di barisan tengah pesawat super besar Saudi Air lines. Syukur sekaligus kesadaran telah melalui satu episode dalam perjalanan haji kami.
Episode menunggu di Executive Lounge Embarkasi Surabaya.
Pelajaran yang dapat diambil adalah: Gunakan kesempatan meski sekecil mungkin untuk menunaikan kewajiban kita, dan jangan pernah merasa bersalah atas nama kebersamaan ketika kebersamaan itu sendiri takpernah mendefinikan kesepakatan-kesepakatan untuk dipatuhi. Bingung kan?
Maksudnya selama gak ada peraturan bersama yang kita langgar, ibadah jalan terus bro and sis!.
Artikel Terkait Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar