Perpisahan adalah satu kata yang pasti terjadi namun jarang bagi setiap insan untuk mempersiapkan diri menghadapinya. Detik-detik itu sungguh sangat berharga. Ia menjungkirbalikkan semua fakta yang telah membangun dirinya menjadi sebuah kebiasaan, sebuah tradisi dan sebuah budaya. Kedahsyatannya menjadi nyata dalam hitungan detik saja. Bagaimana mungkin ia mampu mengubah pribadi yang keras, pribadi yang tak mempan mengucurkan air mata bahkan oleh hajaran sekeras batu pualam sekalipun menjadi pribadi yang lembut, lunak dan penuh perasaan. Dan itulah yang kami alami, pagi dinihari sesudah subuh yang luar biasa. Subuh pada hari di mana siangnya, kami, aku dan istri harus berpisah dengan keempat buah hati kami, Ammar, Fatah, Syifa dan Hanun. Berpisah memenuhi takdir Ilahi yang telah 4 tahun sebelumnya kami nanti. Menunaikan rukun keislaman kami.
Hujan air mata mengakhiri Ma'tsurat kami pagi itu. Kami pun berpamitan. Bermaafan. Kusebut satu persatu kewajiban yang mungkin belum kutunaikan dengan sempurna. Memohon keikhlasan mereka berempat-anak-anakku- untuk bisa menerimanya dengan lapang. Tak sampai hati sebetulnya melihat mereka berlinang, seolah hari itu adalah perpisahan yang sesungguhnya. Tak kutampik memang kalau momen itu kugunakan untuk berpamitan layaknya serdadu yang hendak berperang. Yang berpesan pada sanak kerabatnya untuk tidak mengharapkan dirinya kembali. Terlalu berlebihan mungkin. Namun harus kuutarakan semua kemungkinan kehidupan yang boleh jadi menimpa kedua orangtuanya. Karena perjalanan 10 jam dengan Burung Besi selalu menyimpan sejuta kemungkinan. Termasuk tak kembalinya kami untuk pelukan hangat yang selalu mereka rindukan. (Pelukan yang kami tumpahkan dengan air mata kesyukuran kelak saat Alloh mentakdirkan kami kembali bertemu dengan mereka sepulangnya Haji).
Sejumput pesan kutitipkan pada Ammar, sulungku yang telah 16 tahun bersama untuk sabar menjaga adik-adiknya. Mengantar Hanun sekolah, bungsuku yang 3 tahun berusia. Memandikannya tiap hari, menyuapinya bila lapar, menyebokinya bila BAB dan merelakan waktu bermainnya menjadi partner bermain yang menyenangkan. Tak banyak tugas kuberikan pada Fatah, yang memang sedang mondok di pesantren. Hanya amanah untuk selalu menjaga diri di pesantren dan tak lupa doa untuk kami. Syifa, perempuan kami yang ketiga, tak ketinggalan menerima amanah jua. Di tangannyalah kami titipkan sejumlah uang untuk digunakan selama kami pergi. Dialah yang mengatur semua pengeluaran belanja prajurit-prajurit kami. Maka semua pertanyaan-pertanyaan tetangga dan teman yang menyangsikan kepergian kami dengan meninggalkan 4 anak yang belum mandiri tuntas sudah. Tak ada kekhawatiran kami meninggalkan mereka tanpa ada orang dewasa yang menemani mereka. Sebagaimana tak ada kekhawatiran Ibrahim meninggalkan istrinya sendirian di lembah tandus.
Plong sudah. Dan kami pun telah siap menyambut panggilan Illahi.
Tahapan pertama yang mesti kami lalui adalah perpisahan dengan Bupati Sidoarjo, Syaiful Ilah. Meski sama-sama berlabel perpisahan, namun tak ada keharuan di sana. Tak ada emosi. Datar dan biasa. Dan sebagaimana acara seremonial lainnya, acara ini juga tak luput dari penyakit molor. Direncanakan jam 14.00 WIB, namun baru dimulai jam 15.00 WIB, tepat adzan ashar berkumandang. Patut disayangkan pembawa acara yang menghimbau agar jamaah tidak sholat ashar dulu, menunggu acara selesai. Sebuah seruan yang berlawanan dengan semangat Haji yang menghendaki jamaah untuk melakukan ketaatan total padaNya.
Syukurlah jamaah tidak terpengaruh meskipun hanya beberapa saja. Seandainya jamaah taat pada protokoler, maka habis sudah bangunan keikhlasan yang hendak mulai bertumbuhan. Dan Bupati sak antek-anteknya menanggung dosa jamaah keseluruhan. Rasakno dulur...! Matek Kon!
Ada baiknya panitia memperhatikan jam protokoler perpisahan ini agar tidak mencederai semangat haji yang menekankan ketaatan total pada Nya.
Maka puncak acara basa-basi itu adalah penyematan jaket batik nasional, yang diklaim sebagai bantuan dan hadiah Pemkab Sidoarjo pada jamaah. Kami pun berterima kasih. Tak cukup cuma jaket, Bupati pun menambahkan hadiahnya berupa peci khas penanda jamaah Sidoarjo. Katanya. Karena sampai kembalinya ke depan pintu rumah, kami tak pernah menerima peci yang dijanjikan. Dan sebagaimana biasanya, kami pun mengikhlaskannya. Tak menuntut dan mengajukannya ke pengadilan. Bagaimanapun juga semua seremonial itu menunjukkan betapa mereka mencintai kami. Betapa mereka menghormati tamu-tamu Alloh ini. Dan pastinya mereka berharap, doa-doa kami selama di tanah suci mengalir untuk kesejahteraan dan kemakmuran Sidoarjo.
Terima kasih Pak Bupati!
Artikel Terkait Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar