Masih ingat dengan Henry Mulyadi? Itu lho, supporter Indonesia yang saking kecewa melihat prestasi timnas sepakbola Indonesia, nekat masuk ke lapangan ketika pertandingan Indonesia vs Oman memasuki injury time. Dengan penuh percaya diri, ia meliuk-liukkan tubuh gemuknya berusaha menceploskan bola ke gawang Oman. Lantas, apa hubungannya Henry Mulyadi dengan Pontianak?
Tidak ada sama sekali. Kecuali hanya sekedar menunjukkan bahwa bila ditanyakan pada seorang Henry Mulyadi yang seorang penggemar bola kelas berat, singkatan Persipon, boleh jadi dia akan gelengkan kepalanya. Kalaupun ia menganggukan kepalanya, akan begitu banyak kombinasi yang muncul.
Persipon? Persatuan Sepakbola Indonesia pastinya, cuma Pon nya apa ya? Ponorogo? Pontianak, atau Ponariyo Astaman? Tak ada yang bisa memastikan. Tapi cobalah jalan-jalan ke jalan Pattimura Pontianak. Ada satu plang kecil bertuliskan Persipon. Saya menemukannya secara tidak sengaja kala hendak berburu barang souvenir dan jajanan khas Pontianak. Markas Persipon mudah ditemukan. Berbatasan langsung dengan kios penjual souvenir paling selatan.
Sebagaimana yang dilakukan pelancong lainnya, wajib hukumnya membawa oleh-oleh sebagai bukti otentik kita telah berkunjung ke suatu daerah. Sekedar foto saja tidaklah cukup selama Roy Suryo masih hidup. Karena mungkin saja foto kita yang aslinya melebihi 24 karat, kalo den baguse Roy bilang, foto ini telah direkayasa, maka hanguslah bangunan kepercayaan publik yang kita miliki.
Tidak adil memang rasanya menilai Pontianak dalam waktu hanya dalam hitungan hari. Namun harus saya katakan, pusat pertokoan Pontianak yang menaungi ratusan kios dan penjual nampak tertata rapi. Teratur bagaikan berbaris dalam bingkainya masing-masing. Satu kekurangannya mungkin (atau bahkan kelebihannya?) warna-warna yang membalut dinding bangunan itu seragam. Kusam! Sehingga bangunan yang sudah berumur itu tampak tidak terawat. Mengerikan bagi penyandang Nyctophobia (penyakit psikologis takut kegelapan). Namun sangat menantang dan prospektif bagi produser
Dunia Lain, Rahasia Alam Gaib dan Pemburu Hantu.
|
Sudut Kota Pontianak dari Jendela Kini Hotel |
Kondisi bangunan dan suasananya yang mirip tahun 60-an inilah yang mungkin membuat penggemar kopi ketagihan. Jangan berani cerita kalo sudah nyampe Pontianak kalo belum pernah cangkruk di kedai kopi Merapi. Kopinya mungkin sama enaknya dengan kafe di kota anda, namun suasana kebatinan yang menyelimuti anda saat menyeruput kopi sudah pasti berbeda. Di kedai itu, anda akan mudah mencari kawan. Tak ada sekat pangkat ataupun jabatan. Semua membaur. Tak peduli anda jenderal ataupun kopral. Tak peduli anda pejabat luar biasa atau rakyat jelata. Maka di pagi buta itu, dengan ditemani irama rintik hujan dan gelapnya gulita, kami pun bertukar nama dan deretan angka. Rosihan Anwar, begitu bapak tua itu mengenalkan dirinya. Orang-orang menyebutnya Pak Haji. Usianya lebih dari 60. Tapi jangan salah. Topik apa pun yang anda tawarkan, selalu dia beli kontan. Pengetahuan dan pendapatnya tentang berbagai masalah aktual negara ini menjadi peneman dan perekat perbincangan kami. Seolah kami adalah teman lama yang baru bertemu setelah terpisah jarak dan kala. Hati-hatilah dengan relasi yang dimilikinya. Karena begitu mengenalkan profesi anda, langsung dia akan sebut nama yang menjadi tokoh di bidang yang anda tekuni. Kedai kopi Merapi adalah jujugan wajib selain tugu katulistiwa di kota ini. Dia tunjukkan pada kami kursi besi dimana tamu-tamu besar dan penting biasa duduk nyeruput kopi.
"Ini tempat Pangdam biasa duduk," tunjuknya pada kursi besi bulat warna merah.
"Dan ini bapak Kapolda," katanya sambil menggeser telunjuknya menunjuk kursi disebelah yang merah.
Tanpa dikomando, kami langsung geser pantat. "Siapa tahu jadi kepala kantor,"gumam saya lirih. Pak Sigit rekan dari Semen Gresik juga ikut bergeser. "Siapa tahu jadi dirut Semen Gresik," katanya ringan. Kami tertawa. Semua terbahak-bahak.
|
Berharap tuah kursi Pangdam dan Kapolda (Ki-ka : Sugiarto, Sigit, Julianto, Ignatius, Rosihan Anwar) |
Berniat pergi ke Pontianak, merencanakannya, dan mendarat dengan selamat di Bandara Supadio tidak serta merta menyadarkan saya bahwa Pontianak sangat istimewa. Baru beberapa menit mengelilingi Packing Plant Semen Tonasa di kawasan Wajokhilir, Pontianak Utara, sengatan sinar matahari pagi terasa mencubit wajah dan kulit tangan. Sebentar-bentar saya harus menyilangkan tangan melindungi wajah yang seolah terbakar. Padahal baru jam sembilan pagi. Kulit saya semakin gelap rasanya. Sering saya terpaksa berlindung di samping dinding bangunan mencoba bersembunyi dari tikaman mentari.
|
Pabrik Pengantongan Semen yang dioperasionalkan PT. Semen Tonasa |
Barulah saya menyadari betapa istimewanya Pontianak. Sengatan panas yang membabi buta sepenuhnya adalah kesalahan saya. Salah karena saya berdiri di pertemuan Lintang Utara dan Selatan. Tepat titik 0. Posisi di mana matahari paling dekat dengan bumi. Maka mengunjungi tugu katulistiwa wajib hukumnya. Sebagai prosesi balas dendam atas panas yang saya derita.
|
Monumen Tugu Khatulistiwa |
Masyarakat Kalimantan Barat begitu bangga dengan keberadaan tugu khatulistiwa di daerahnya. Lihat saja souvenir di jalan Pattimura. Dominasi miniatur tugu menghiasi etalase setiap toko. Bahkan lambang daerah provinsi juga dihiasi dengan simbol garis khatulistiwa. Suatu kebanggaan yang tidak dimiliki tujuh provinsi lain yang wilayahnya dilewati garis khatulistiwa. Semisal Provinsi Sulawesi Tengah. Dalam perjalanan menyusuri Teluk Tomini tahun 1997, saya berkesempatan untuk singgah pada tugu khatulistiwa yang berada di tengah persimpangan jalur jalan Trans Sulawesi di Desa Sinei (sekarang Desa Khatulistiwa) Kecamatan Tinombo Selatan dengan jarak ± 105 dari kota Parigi (Ibukota Kabupaten). Tidak sebagaimana saudara tuanya di Pontianak, keberadaan tugu ini sangat memprihatinkan. Jangankan bangunan pelindung yang memperpanjang usia kayu penopang lingkaran simbol garis khatulistiwa, sekedar mengecat badan tugu pun segan. Rumput liar tumbuh subur mengelilingi lokasi tugu. Orang malas pesiar ke sana.
Memasuki bangunan tugu, saya disambut tiga orang pegawai dinas pariwisata. Salah satunya ibu-ibu, yang dengan ramah mempersilakan mengisi buku tamu. Ajaib, saya tidak ditarik sepeserpun tiket masuk. Mungkin ini yang menyebabkan masyarakat tidak berbondong-bondong mendatanginya. Halaman parkir hanya dipenuhi dua mobil rombongan kami. Penyakit khas indonesia. Gratis No, Bayar Yes! Tariklah kacis atas nama pemeliharaan dan operasional sepantasnya, maka saya yakin monumen tugu khatulistiwa akan merupakan wisata geografis dan alam yang menjadi
destination utama. Kami mengambil gambar bergantian. Menggenggam dunia bergantian. Berpose di depan tugu ibarat menaruh dunia dalam genggaman. Katanya.
|
Narsis Forever |
|
Tetep Narsis The Series |