Mestinya bukan begitu penulisannya, tapi begitu cara
bacanya. Orang bahkan sering menyingkatnya hanya dengan ITP. Bagi
awam kayak saya, I adalah Idiopatic, artinya tak diketahui penyebabnya,
Trombitopenia ya ada kaitannya dengan trombosit tentunya, sering
diterjemahkan sebagai kondisi dimana trombosit dalam keadaan minimalis.
Pada orang yang normal, trombosit berada dalam rentang 150.000 sampai
350.000 per mikroliter. Pada penderita ITP jumlah trombosit kurang dari
15.000 per mikroliter. Jangan percaya kalo saya katakan trombosit saya
saat itu cuma 1.000 per mikroliter. Saya sendiri juga gak percaya.
Tapi begitulah dokter bilang, sambil menepuk-nepuk pundak dengan tak
lupa membesarkan hati, “Banyak-banyak berdoa ya diik..” Nah terakhir P
adalah Pupura, artinya bintik atau bercak kebiruan kayak luka memar
habis dipukul.
Risih juga menerima perlakukan tak terduga macam itu. Lha wong bukan selebritis kok dirubungi. Macam gula saja dikerubuti semut. Tapi yah apa boleh buat. Saya kan cuma seorang pasien. Dari sudut pandang manapun seorang pasien selalu diposisikan sebagai objek. Dan selama 15 menit dikeroyok bercampur dengan ‘intimidasi medis standar’ seperti : sejak kapan menderita, riwayat keluarga, penyakit turunan, keluhan fisik, pendarahan, aktivitas harian, pola makan dan gaya hidup de el el, hasilnya adalah selembar kertas yang berisi coretan untuk merujuk saya ke ahli planologi, eh patologi klinis. Itu lho bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh. Alamaak, batin saya berteriak. Habis dari patologi klinik kira-kira mau dirujuk ke mana lagi ya? Mudah-mudahan bukan kamar jenazah!
Pikiran saya patut berontak. Kali pertama saya datang memang bukan di poli spesialis kulit. Tapi Poli Gigi. Itu berkaitan erat dengan perdarahan yang keluar dari sela-sela gigi. Tidak terlalu mengucur sih, namun tetap saja mengganggu. Karena ia menggumpal kayak sisa makanan yang nyangkut di gigi. Bila gumpalan ini dibersihkan, darahpun kembali mengucur. Dokter bilang ada salah satu gigi saya yang patut dijadikan tersangka. Karena ada dua alat bukti yang cukup kuat untuk menetapkan gigi tersebut sebagai tersangka. Pertama, karena disitulah darah berasal. Kedua, gigi tersebut goyang, tidak menancap kuat kayak tetangganya.
Saya sudah bersiap membuka mulut dan dokterpun sudah menyiapkan catut dan pencongkel gigi. Macam tahanan di kamp penyiksaan, dokter sudah menyentuhkan catutnya. Ada perasaan tak enak saat itu. Saya pun minta penangguhan pencabutan. Kuperlihatkan lidahku. Bintik hitam itu ternyata membuat dokter mengurungkan niat eksekusinya, dan tanpa kuminta ia pun merujukku ke poli kulit.
Ternyata nasib adalah pikiran itu sendiri. Apa yang kita pikirkan maka itulah nasib kita. Dokter spesialis patologi klinik pun pada akhirnya meminta saya datang esok, setelah sebelumnya membuat catatan beberapa tes yang harus saya lalui di laboratorium. “Jangan ke sini tanpa hasil tes “, pintanya tegas.
Saya bersyukur. Sangat bersyukur. Orang mungkin heran. Lha wong dikasih sakit masih sempat-sempatnya bersyukur.
Saya patut bersyukur. Tuhan telah mengirim seorang dokter umum untuk saya. Yang dengan penjelasannya telah menenangkan saya. Yang dengan diagnosa singkatnya telah mempercepat perawatan medis saya.
Dan lagi-lagi saya wajib bersyukur. Yang dengan skenarionya Tuhan telah menyelamatkan gigi saya.
Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/02/12/idiopatic-trombositopenia-pupura-indah-di-dengar-tak-indah-di-rasa-533492.html
******
Hari itu, Rabu 26 Desember 2007 adalah hari yang mengherankan sekaligus
istimewa. Di ruangan poli spesialis kulit sebuah rumah sakit umum milik
pemerintah , tempat di mana saya mengeluhkan munculnya bintik hitam
yang muncul di lengan dan lidah, tersaji sebuah pergumulan yang tidak
seimbang. Seharusnya satu pasien, duduk berhadapan dengan satu orang
spesialis kulit. Begitulah yang ada dalam bayangan saya. Satu lawan
satu, dokter dan pasien. Tapi yang tak terduga adalah rombongan co-ass
nya. Lebih dari 12 dokter-dokter muda itu mengepung saya. Berebut
hendak melihat lengan, memegangnya bahkan meminta saya membuka rongga
mulut untuk membuktikan kebenaran kabar tentang adanya bintik hitam di
lidah dan gusi saya.Risih juga menerima perlakukan tak terduga macam itu. Lha wong bukan selebritis kok dirubungi. Macam gula saja dikerubuti semut. Tapi yah apa boleh buat. Saya kan cuma seorang pasien. Dari sudut pandang manapun seorang pasien selalu diposisikan sebagai objek. Dan selama 15 menit dikeroyok bercampur dengan ‘intimidasi medis standar’ seperti : sejak kapan menderita, riwayat keluarga, penyakit turunan, keluhan fisik, pendarahan, aktivitas harian, pola makan dan gaya hidup de el el, hasilnya adalah selembar kertas yang berisi coretan untuk merujuk saya ke ahli planologi, eh patologi klinis. Itu lho bidang kedokteran yang berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan fungsi atau keadaan bagian tubuh. Alamaak, batin saya berteriak. Habis dari patologi klinik kira-kira mau dirujuk ke mana lagi ya? Mudah-mudahan bukan kamar jenazah!
Pikiran saya patut berontak. Kali pertama saya datang memang bukan di poli spesialis kulit. Tapi Poli Gigi. Itu berkaitan erat dengan perdarahan yang keluar dari sela-sela gigi. Tidak terlalu mengucur sih, namun tetap saja mengganggu. Karena ia menggumpal kayak sisa makanan yang nyangkut di gigi. Bila gumpalan ini dibersihkan, darahpun kembali mengucur. Dokter bilang ada salah satu gigi saya yang patut dijadikan tersangka. Karena ada dua alat bukti yang cukup kuat untuk menetapkan gigi tersebut sebagai tersangka. Pertama, karena disitulah darah berasal. Kedua, gigi tersebut goyang, tidak menancap kuat kayak tetangganya.
Saya sudah bersiap membuka mulut dan dokterpun sudah menyiapkan catut dan pencongkel gigi. Macam tahanan di kamp penyiksaan, dokter sudah menyentuhkan catutnya. Ada perasaan tak enak saat itu. Saya pun minta penangguhan pencabutan. Kuperlihatkan lidahku. Bintik hitam itu ternyata membuat dokter mengurungkan niat eksekusinya, dan tanpa kuminta ia pun merujukku ke poli kulit.
Ternyata nasib adalah pikiran itu sendiri. Apa yang kita pikirkan maka itulah nasib kita. Dokter spesialis patologi klinik pun pada akhirnya meminta saya datang esok, setelah sebelumnya membuat catatan beberapa tes yang harus saya lalui di laboratorium. “Jangan ke sini tanpa hasil tes “, pintanya tegas.
******
Malam belum larut, dan hati galau juga tak surut. Semakin petang, bukan
cuma bintik yang bertambah. Namun frekuensi pendarahan juga semakin
sering. Istri berinisiatif membawaku ke dokter umum. Dokter askesku.
Hanya sekilas dia melihat lengan dan lidah, memandangku dengan agak
cemas. Menuliskan sesuatu. Lalu berkata, “Bapak terindikasi ITP. Ini
rujukannya. Pergilah ke Poli spesialis dalam. Jangan ditunda.
Pendarahan bapak sudah parah..”.Saya bersyukur. Sangat bersyukur. Orang mungkin heran. Lha wong dikasih sakit masih sempat-sempatnya bersyukur.
Saya patut bersyukur. Tuhan telah mengirim seorang dokter umum untuk saya. Yang dengan penjelasannya telah menenangkan saya. Yang dengan diagnosa singkatnya telah mempercepat perawatan medis saya.
Dan lagi-lagi saya wajib bersyukur. Yang dengan skenarionya Tuhan telah menyelamatkan gigi saya.
Sumber : http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2013/02/12/idiopatic-trombositopenia-pupura-indah-di-dengar-tak-indah-di-rasa-533492.html
Artikel Terkait Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar